The Unanswered Questions

130 45 8
                                    

22, Bulan Tua. Tahun 1966.

Tara memimpikan hal-hal baik pada malam yang tersisa, padahal ia tidur di sebuah sofa berlapis kain putih, dan hanya berselimut rompi Julian. Ia memimpikan Deana yang masuk ke kamarnya dengan sebuah hadiah buku baru. Ia memimpikan Ayah dan Ibu yang berdebat kecil di depan perapian, memilih akademi bergengsi yang cocok untuk pendidikan akhir Tara.

Namun, jauh di lubuk hati Tara, ia tahu semua itu hanya kenangan lama yang terdistorsi. Deana tak pernah menghadiahkan buku baru, tetapi mesin ketik. Ayah dan Ibu memang berencana menyekolahkan Tara di Akademi Arial—akademi paling wah di seantero Negeri Nordale—tetapi uang persiapannya diambil alih untuk dana pencarian Deana.

Sebelum Tara menyeret mimpinya ke jurang realita, ia merasakan sentuhan ringan pada rompi Julian yang menyelimuti bahunya.

"Tara, bangunlah." Julian berbisik lembut. "Veiler akan datang."

Butuh beberapa menit hingga Tara mendapatkan kesadaran utuh. Bahu, punggung, dan—ah, anggap saja sekujur tubuhnya—pegal-pegal. Saat Tara mengenakan sepatu hak lagi, ia merasa aneh karena tidur dengan gaun semewah ini. Ia merasa seperti putri kaisar yang tak memiliki gaun-gaun sederhana selain gaun-gaun besar berkilau emas.

Pagi memang sudah tiba, tetapi matahari belum terbit sepenuhnya. Langit semburat merah jambu lembut dan ungu kebiruan. Awan besar bergaris-garis macam lembaran pasta bertumpuk ... duh, Tara lapar. Ia tidak makan banyak di pesta semalam selain kue-kue kecil.

"Apa kau bisa tidur?" Julian tersenyum. Mereka memang sepakat untuk tidur bergantian, dengan Julian yang terlelap pada dua jam pertama. Ini karena Julian mencurigai para preman di pekarangan, dan berspekulasi mereka akan bangun—atau akan muncul preman pengganti—di waktu pagi. Saat Tara mengangguk, Julian menambahkan. "Dugaanku benar. Segera setelah kau terlelap, datang dua preman baru. Aku memukul mereka pingsan sebelum melihat dua preman sebelumnya."


"Tidur nyenyak di sisi lain vila."

Tara menatapnya dengan curiga, kendati senyum geli muncul di bibirnya yang kering. "Dasar Monster Gurita," gumamnya.

Julian tidak marah. Ia justru ikut tertawa. "Sudahlah, kita harus bergegas secepat mungkin. Aku yakin para veiler akan datang sebentar lagi," katanya. "Karlo masih lemas. Kita mesti mengunjungi rumah sakit terlebih dahulu daripada apa pun."

Tara setuju, dan selang tak lama kemudian bala bantuan benar-benar datang. Para prajurit Julian datang dengan sosok yang normal—tak ada jubah berasap, selain pria-pria berseragam dan bermata hitam pekat, dan mengendarai mobil hitam mengilap keluaran terbaru. Tara sempat ragu-ragu, tetapi setelah dibujuk Julian bahwa mereka akan bersama Karlo di jok belakang, sang gadis bersedia.

Mobil itu melesat seolah-olah sedang dikejar vehemos. Tara tak tahu apakah karena mobil ini disetir oleh Setengah Monster, atau karena memang mobil ini jauh lebih mahal daripada mobil yang disetiri pengawal Tuan Hudson dulu. Yang mana pun, baru kali ini Tara lega dengan waktu yang begitu cepat. Setibanya di Kota Hudson, mereka seketika melarikan Karlo ke rumah sakit.

Sisanya adalah tetek bengek yang melelahkan sepanjang hari, dan berbagai upaya Tara untuk menghindari Tuan Hudson. Ia masih tak ingin menemuinya kendati Tara dan Julian yang mendapat apresiasi atas penemuan Karlo. Tara membiarkan Julian menemui Tuan Hudson, dan sebaliknya, Emmett mengantarnya pulang ke Kota Wistham.

Tara sempat berkomentar. "Kau tahu, Emm," katanya, "aku harap kau tidak terlalu sibuk di akhir tahun. Jika ini semua terselesaikan dengan sukses, kita bisa merayakannya bersama-sama."

Emmett hanya mendengus. Tak ada senyum walau ujung telinganya memerah. "Memangnya kau sudah tidak membenci Julian?" tanyanya, mengirimkan gelenyar canggung kepada Tara, dan menggerus kehangatan sang gadis. "Apa kau sudah memaafkannya atas kekacauan yang dia sebabkan empat tahun lalu? Seluruh Energi Julian pada dasarnya adalah pemantik traumamu."

Embers in the Night ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang