The Justified Name

458 55 32
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


24, Bulan Pekerja. Tahun 1967.

Musim panas kali ini lebih dingin daripada biasanya, dan semua menyukai itu. Terutama setelah musim dingin yang membakar kesabaran.

Bulan ketujuh terasa seperti lelehan es krim. Langit biru tanpa noda tampak dekat dari salah satu puncak menara kastel kekaisaran. Tara merasa bisa menggapai langit itu dalam satu bentangan tangan—atau, lebih baik lagi, dengan menjulurkan sulurnya ke langit. Itu adalah pemandangan jarang di ibu kota Nordale, tersebab hujan biasanya mendera hampir tiap hari. Konon, kata Julian, penduduk langit pun ingin merayakan hari ini, tetapi Tara percaya itu hanya bualan sang pangeran. Pria itu lebih gembira daripada dirinya sejak beberapa hari terakhir.

Padahal baru dua minggu mereka tidak bertemu semenjak liburan musim panas.

Yah, kau tidak bisa menyalahkan orang yang sedang jatuh cinta.

Pipi Tara bersemu saat memikirkannya. Untungnya, ada ketukan pada pintu dan Tara senang benaknya terdistraksi. Pelayan yang sedang memasang pin mutiara pada rambutnya pamit sejenak. Tara mengangguk. Dari pantulan cermin besar di hadapannya, ia mengawasi sang pelayan membukakan pintu. Muncul seorang asisten kekaisaran. Pria itu meminta izin untuk berbicara pada Deana yang berada di sisi lain ruangan.

Saat pelayan tadi kembali untuk menyisir rambut Tara, sang gadis mengawasi asisten tersebut berbisik sesuatu pada Deana. Tara tak memedulikan itu. Ia mengagumi Deana. Kakaknya tampak sangat menakjubkan dengan gaun biru tua dan sapuan perak. Kedua warna itu adalah warna kebanggaan dinasti—sebuah upaya Deana untuk menunjukkan loyalitas usai kekeliruan besar yang pernah diperbuat.

Lamunan Tara terputus saat sang pelayan menekan pundaknya dengan lembut. "Sudah selesai," bisiknya. "Semoga acara pelantikan kakak Anda berjalan lancar, Nona Wistham."

"Terima kasih." Tara tersenyum. Deana pun rampung dengan dandanannya. Sementara para pelayan berbenah di ruangan, sang kakak menghampirinya.

"Warna yang sangat cocok untukmu." Deana memainkan jarinya di lengan gaun Tara yang berwarna ungu tua. "Meski aku yakin Ibu akan protes karena lagi-lagi kau mengenakan warna gelap."

"Khusus warna ini, aku yakin Ibu tidak akan marah. Dia justru berencana memamerkan aku ke mana-mana."

Mereka tertawa.

"Oh Tuhan," Deana mengerjap-kerjapkan mata, berusaha menghalau lebihan air mata. "Omong-omong menyoal penawaranku beberapa malam lalu, Tara, aku benar-benar ingin kau menerimanya."

Tara menahan napas. Ia refleks melirik ke arah sepasang pintu tempat asisten kekaisaran tadi keluar. Ia tidak mengatakan apa pun, tetapi Deana tahu apa yang terlintas di benak sang adik.

Deana menggenggam kedua tangannya. "Tidak ada orang yang lebih pantas untuk menduduki posisi itu selain dirimu, Tara—Wistham yang termuda, sekaligus satu-satunya selain diriku."

Embers in the Night ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang