The Dead Heart

199 43 18
                                    


4, Bulan Tua. Tahun 1966.

Tara bersyukur keinginan untuk bunuh diri tidak pernah muncul lagi, padahal banyak hal terjadi selama tiga hari terakhir.

Ia ingat masa-masa selepas empat tahun lalu: Tara ditenangkan di sebuah fasilitas rehabilitasi, sementara keluarga Hudson—yang selamat dengan utuh—cukup ditemui psikiater secara rutin di vila. Lalu, selepas mendapat segala yang tersisa di rumah dan kehidupannya, Tara memutuskan untuk memasuki dunia Monster Gurita.

Bagaimana lagi ia mesti mencari Monster Gurita jika tidak dengan menyamainya?

Tara tak bisa menghitung berapa banyak upaya bunuh diri pada tahun pemulihan pertamanya. Apalagi sensasi saat sel vehemos menginangi tubuhnya sangat menyakitkan, sampai-sampai goresan pisau di lengan terasa seperti gelitikan bayi. Tara sempat berpikir ia bisa mati dengan menyerap sel asing, tetapi ia salah. Ia masih bertahan hidup hingga mencapai titik pasrah kepada Tuhan.

Tara cukup heran, sekaligus bersyukur, karena sama sekali tak terbersit keinginan mengakhiri hidup setelah berbagai kejutan di akhir tahun.

Sehingga, ketika Aveline menjemputnya di Stasiun Elentaire—wajahnya pekat oleh kecemasan—Tara justru tertawa. Ia sangat lega melihat Aveline sehat, dan beraroma kayu manis yang hangat. Aveline membawa Tara ke pondok kakek neneknya, menghidangkan cokelat panas dan sepotong pai apel yang besar, kemudian mendengarkan seluruh kehebohan selama di Nordale.

"Apa kau baik-baik saja, Tara?" Aveline selalu menanyakan hal sama setiap Tara berhenti sejenak untuk beristirahat. "Kau tidak memikirkan hal-hal lain, kan?"

Tentu saja Aveline memaksudkan upaya bunuh diri yang pernah tercetus. Aveline menemaninya sejak Tara pertama kali menginjakkan kaki di Elentaire—mereka bertemu di kompartemen kereta, berkenalan dengan agak canggung, sebelum mendapati bahwa mereka juga berbagi kamar asrama, kelas, dan konsentrasi keilmuan yang sama. Sudah pasti Aveline mengenal Tara luar dalam.

Tentu, dengan cerita-cerita yang dipoles Tara, bukan seperti Julian yang mengetahui segala aib Tara dengan keterlibatan langsung.

"Aku sama sekali tidak kepikiran," begitu jawaban Tara, dan Aveline merangkulnya seraya terisak. "Mungkin karena ada terlalu banyak hal yang kupikirkan."

"Demi Tuhan, Tara, Tuan Hudson sialan itu sama sekali tidak tahu tentangmu! Ia tidak tahu betapa sempurna nilai-nilaimu di kelas—"

"Sudahlah." Tara melepaskan rangkulan Aveline. Wajahnya berkerut-kerut. "Aku tidak peduli. Maksudku, untuk sementara ini. Biarkan itu menjadi urusan dinasti. Aku harus menemukan Karlo dahulu."

Aveline menarik diri. Isakannya berhenti. "Kau benar-benar bekerja sama dengan Julian sekarang? Sungguh, Tara, jika kalian berhasil mengupas kejahatan yang dicetus Tuan Hudson, semua akan kembali menjadi milikmu."

Ya, jika berhasil. Tara menyimpan bagian soal penalti yang mesti Julian penuhi jika kerja sama itu gagal. Yang benar saja. Meski Aveline sahabatnya, itu adalah ancaman sungguhan. Jika sampai kakek Aveline mendengarnya, Tara bisa dikenai undang-undang. Kakeknya adalah penegak hukum lokal Elentaire. Neneknya adalah seorang profesor senior.

Menyadari ini juga membuat Tara yakin dirinya sedang meniti tali di atas jurang. Jika ia juga gagal membantu Julian, sang putra kaisar bisa kapan saja menjegalnya dengan undang-undang. Ia berhak. Selalu berhak. Tara hanya perlu mengulik seberapa suci hati nurani Julian untuk memastikan.

"Kalau menyangkut soal perebutan wilayah, kuakui aku tidak bisa menanganinya. Ini harus diserahkan kepada kaisar. Toh semua tanah adalah milik dinasti, dan para bangsawan pemerintah hanya membantu mengelola." Nada Tara mirip bocah yang sedang mengeja buku. "Jadi, ya, tak ada pilihan lagi."

Embers in the Night ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang