The Lovely Pain

114 39 4
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Kemari." Julian menggandeng Tara menuju celah antara dua kedai yang tertutup rapat. Balok-balok kayu panjang berserakan di depan kedai-kedai lawas, dengan aroma bawang putih dan zaitun melapis pekat pada dinding. Tara baru mengenalinya sewaktu berderap melewati pojok kedai.

Genggamannya pada Julian menguat saat mendapati kegelapan total di gang sempit tersebut. Satu-satunya lampu gantung yang dipaku pada kedai zaitun menyala redup, dan sesekali berkedip terang, tetapi itu sama sekali tidak membantu. Tara tak bisa melihat apa pun selain gurat-gurat batu bata keropos di sekitar penerangan. Aroma bawang putih juga tertutup sempurna oleh bau ikan busuk, asin laut, karet hangus, dan segala macam yang membuat perut Tara teraduk-aduk mual.

Julian, sadar dengan reaksi Tara, balas mempererat genggaman. "Bertahanlah, Tara," bisiknya. "Ini hanya sebentar."

Tara menelan ludah. Samar-samar di belakang telinga terdengar seruan dua preman yang berhasil mencapai persimpangan. Duh. Tara tak punya pilihan lagi. Ia memercayakan nasib seutuhnya kepada Julian, tetapi kakinya baru saja menginjak sesuatu yang licin dan berlendir.

"Oh!" Tara nyaris terpeleset. Meski Julian menahannya dengan cepat, Tara sudah terlanjut bersuara. Tara mengangkat pandangan, menerka-nerka bahwa Julian ikut menatapnya, dan terdengar suara salah satu preman.

"Di sana!"

"Oh, tidak." Tara menelan ludah. "Mereka juga bawa senter."

Tara merasakan terpaan napas hangat pada wajahnya. "Apa kau percaya padaku, Tara?"

"Apa?" balas Tara spontan. Namun ia tak punya waktu untuk berpikir. Derap kedua preman semakin dekat. "Ya, Jules. Selalu."

Jawaban itu bersambut sentuhan ringan di pinggangnya. Tara menahan napas. Tak ada keinginan untuk menjauh, selain menurut saat Julian membawanya merapat pada dinding kedai.

Julian barangkali merasa telapak tangan Tara mulai berkeringat, sebab suaranya melembut kendati situasi tengah mendesak mereka. "Nyalakan lumen-mu, Tara. Kita membutuhkannya."

"Apa? Tapi ...."

"Sekarang."

Bukankah Tara sudah teguh untuk selalu memercayai Julian? Ia seharusnya tak mendebat lagi. Maka Tara pun mengangguk. Sembari memusatkan konsentrasi—yang terasa sangat sulit ketika derap kedua preman menggaung keras di telinganya—Tara mengerahkan satu sulur besar di tepi kaki. Seiring dengan sulur yang menjulang, satu per satu pucuk lumen tumbuh, merekah, lantas bersinar benderang.

Pada saat itulah Tara menyadari dua hal: Julian sudah melingkupi mereka dengan kepompong asap hitam yang sempurna, dan wajah Julian yang hanya berjarak satu rengkuhan darinya.

Julian tersenyum. "Semoga aman," katanya. Ia melirik ke arah luar kedai, tepat saat langkah kaki kedua preman berhenti. Tara tak bisa melihat menembus kungkungan, tetapi sang pangeran sudah pasti sanggup. Kedua mata cokelat cerahnya senantiasa bergerak mengikuti pergeseran dua preman.

Embers in the Night ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang