Julian dengan sigap membantu Tara stabil. "Apa kau tidak apa-apa?" bisiknya, lantas mendaratkan tatapan peringatan pada Maxim. Namun, sang pangeran negeri seberang sudah pergi dari lantai dansa. Ia menyambar sebuah gelas anggur dan menyapa pasangan terdekat.
"Oh, Julian." Tara mengira dirinya akan meledak. Kelegaan meletup-letup hingga rasanya memualkan. "Aku melakukan kesalahan. Dia sudah pasti tak mau mengatakan di mana Karlo berada sekarang."
Julian menelan ludah, tetapi tak ada waktu untuk membicarakan itu sementara ini. Musik kembali diputar. Pasangan-pasangan dansa di musik pertama sudah digantikan oleh pasangan-pasangan yang lain. Musiknya lebih lembut, cocok untuk membantu Tara menenangkan diri. Sang gadis berulang kali mengatur napas.
"Apa yang terjadi?" tanya Julian saat mereka merapat. Dengan penuh kehati-hatian Julian meletakkan jemarinya di pinggang Tara, tempat yang sama dengan Maxim tadi mencengkeram.
Tara mula-mula ragu, tetapi Julian tidak akan membiarkannya diam. Tara menyerah. Ia menceritakan apa yang Maxim ancamkan. Reaksi Julian sudah terduga. Ia hampir menekan pinggang Tara andai gadis itu tidak tersentak kecil. Julian pun melonggarkan jari.
"Maafkan aku, Tara. Maukah kau melanjutkan? Apa jawabanmu?"
Pipi Tara memerah. Dia baru sadar apa yang tadi ia ucapkan pada Maxim. "Aku, uhh, aku bilang bahwa ... sepupunya lebih pantas jadi pewaris Fortier, dan andai dia tetap mau bertahan ... dia harus belajar darimu."
Belajar dari pangeran tersayang Julian. Sial. Itu hanya bentuk cemoohan kepada Maxim, oke?
Julian mengerjap. Kekesalannya menguap seiring dengan senyum kebingungan di ujung bibirnya. "Aku? Mengapa aku?"
Tara mengangkat bahu. "Kau pria baik." Suaranya terlampau pelan sampai-sampai Julian mencondongkan sedikit tubuh. Tara gugup. "Kau bagai bumi dan langit dengannya."
"Lagi-lagi kau memandangku terlalu tinggi. Aku tidak begitu."
"Ya, TENTU SAJA kau tidak sehebat itu, tetapi kau jelas-jelas sangat berbeda dengan pangeran di ujung sana."
Julian tertawa. Tara tak pernah kehilangan seluruh emosi secepat malam itu. Segala hal—segalanya—tersurat pada semu yang menghangatkan wajahnya. Meski begitu setiap gerakannya menjadi lebih ringan sekarang. Tara berputar menjauh, kemudian berputar mendekat. Namun, berbeda dengan dansa sebelumnya, kali ini setiap gadis akan jatuh di rengkuhan pasangan dansanya.
Sehingga, ketika Tara terkulai di lengan Julian, gadis itu gugup setengah mati. Lengan Julian yang kokoh menekan punggungnya, seolah-olah khawatir Tara bakal jatuh sungguhan. Wawasan pandang Tara kini penuh oleh wajah Julian.
Untuk pertama kalinya Tara menyadari segala fitur detail di wajah rupawan itu. Kedua mata cokelat cerah yang tak lagi asing. Alisnya yang tebal, bintik-bintik samar di bawah matanya yang teduh, dan bibir yang lembut. Tara tak semestinya memandang ke sana. Namun, ia tak bisa mengalihkan pandangan, terutama ketika Julian membuka mulut, dan—
"Apa kau tidak apa-apa?" bisik Julian. "Sedekat ini?"
Setelah itu Julian menariknya berdiri lagi. Tara refleks meremas bahunya. "Tidak," bisiknya dengan napas tertahan.
"Katakan jika kau tidak nyaman," tambah sang pangeran. "Aku akan menjaga jarak kita dengan baik."
"Tidak masalah," ulang Tara, cenderung tergesa-gesa. Kenyataannya, Julian adalah satu-satunya sosok yang ia percaya di ruangan ini. Aveline belum muncul, dan Emmett tidak datang.
Julian mengangguk. Senyum di bawah topengnya membuat sisi paling waras di benak Tara meronta-ronta.
Bagaimana bisa Tara berdansa dengannya? Demi Tuhan, pria itu bertanggung jawab atas hilangnya Ayah dan Ibu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Embers in the Night ✓
FantasyTara Wistham berusaha menjadi calon wali kota yang baik. Namun, tak ada yang menghendakinya. Ia bahkan berubah menjadi Host untuk memperjuangkan hak keluarga seorang diri, tetapi satu-satunya penolong ternyata adalah sang musuh: Monster Gurita. ...