The Deadly Urge

129 41 10
                                    

26, Bulan Tua. Tahun 1966.

Tara dan Karlo datang ke butik persewaan segera setelah Tara tiba di Kota Wistham. Karlo sebenarnya sempat ragu, lalu menyarankan agar Tara beristirahat sejenak, tetapi gadis itu sedang keras pada dirinya sendiri. Selagi kondisi tubuh Karlo membaik, Tara akan memanfaatkan waktu itu seefektif mungkin.

Tara tidak membeli gaun pernikahan. Ia menyewa—seperti yang sudah kau tahu sejak tanggal pernikahan diumumkan. Ini menyedihkan, padahal keluarga Wistham dulunya termasuk keluarga terkaya di seantero Kota Wistham. Namun, seperti yang sudah kau tahu juga, pundi-pundi keuangannya sangat menipis. Tara akan menyimpan itu untuk biaya sekolahnya di Institut.

Untung saja Tuan Hudson mau menanggung semua biaya pernikahan.

"Gaun yang sangat cantik, Nona," kata Lady pemilik butik. Ia tersenyum lebar melihat gaun putih dengan rok lebar menghampar megah di tubuh Tara. Sang Lady pun menggelung rambut panjang Tara. "Dan engkau akan cocok dengan jenis sanggul rendah seperti ini. Saya tahu tiara yang sangat pantas disematkan di sini. Bagaimana?"

"Yang mana saja," gumam Tara. Ia termangu dengan pantulannya pada kaca. Ia tidak berniat sombong, tetapi dia memang sangat indah di cermin itu. Liuk hiasan dan payet pada dada hingga pinggangnya mengingatkan Tara akan sulur-sulur. Gaun ini cocok untuknya. Andai Tara punya uang, ia sudah pasti membeli gaun ini.

"Kalau begitu akan saya ambilkan koleksi tiara kami!" sang Lady buru-buru dengan penuh semangat, meninggalkan Tara dan Karlo di ruangan yang senyap. Hanya ada dua staf yang sedang merapikan ujung gaun Tara dan menggulung tali ukur.

"Kau cantik sekali, Tara." Karlo tersenyum. Pantulannya di cermin bertatapan dengan Tara. Bahkan dari sini, Tara mampu mengenali kesuraman yang masih membayang-bayang sang pria.

"Trims," kata Tara, yang bersambut kernyitan di dahi. "Kenapa kau begitu suram akhir-akhir ini, Karlo? Sudah kubilang, kau takkan mati dengan sedikit perubahan pada tubuhmu. Dan kau tidak akan berubah sedrastis diriku. Kau akan baik-baik saja—kau tetap seorang manusia."

"Bukan." Karlo mengembuskan napas. "Aku hanya ... aku ... merasa begitu bersalah kepadamu." Saat Tara mengangkat alis bingung, Karlo sempat terdiam. Ia membutuhkan waktu yang agak lama untuk merangkai kata-kata, sampai-sampai Tara cukup frustasi dan mengira Lady pemilik butik bakal datang dan mengakhiri percakapan itu.

"Aku bersumpah, Tara," kata Karlo setelah jeda yang panjang. "Aku bersumpah tidak akan pernah mengambil kursi jabatanmu. Aku tidak peduli apa yang Ayah dan para wali kota rencanakan di konferensi-konferensi itu, tetapi aku tidak bakal menyentuh kekuasaanmu. Kotaku adalah kotaku, dan begitu pula kotamu adalah kotamu." Karlo tersenyum lagi, kali ini jauh lebih tulus. "Apa pun yang terjadi, Tara, aku akan mendukungmu. Selalu. Kita akan menjadi wali kota bersama-sama, dan kita tidak akan pernah mengusik satu sama lain."

Tara memang lega mendengar itu, dan sempat mengira bahwa inilah yang butuh ia dengarkan semenjak Tuan Hudson memaksanya mempercepat pernikahan. Namun, lagi-lagi, ketidaknyamanan masih menyelimutinya dengan tebal.

"Terima kasih banyak, Karlo." Tara tersenyum dengan sungguh-sungguh. "Aku tahu kau adalah orang baik."

Karlo tak menjawab, selain menatap Tara dalam-dalam. Apakah ada lagi yang ingin ia sampaikan? Tara tidak tahu. Hingga Lady pemilik butik datang dengan kereta dorong berisi tiara-tiara berkilau, Karlo tidak menambah apa pun.


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Embers in the Night ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang