The Ball of Terror

189 47 11
                                    


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Tara melewati pintu-pintu besar yang menghadap taman. Beberapa pasangan bercengkerama secara intim, bersandar pada pilar-pilar luar dengan mata setia mengawasi ke arah pintu.

Tara meneruskan langkah. Sulurnya aktif melesat di bawah tanah, berusaha mencari sesuatu yang bisa menenangkan diri. Ia mendengar samar-samar suara kucuran air. Tampaknya ada air mancur di labirin sesemakan hemlock—keluarga bangsawan lumrah memiliki labirin-labirin kecil di halaman mereka.

"Tara!"

Gadis itu menghela napas. Kenapa Karlo tidak bisa mengejarnya tanpa suara? Bukan berarti Tara juga mau dikejar. Wajahnya panas membayangkan sejumlah pasangan yang bercumbu di pilar-pilar kini menonton mereka dengan seringai. Akan ada gosip baru. Itu sudah pasti.

Tara mempercepat langkah saat memasuki labirin, dan mengangkat gaun agar mempermudah upaya. Ia melewati sepasang muda-mudi yang berciuman dengan vulgar di sudut sesemakan, dan mereka kalang kabut atas kehadiran Tara.

"Tunggu, Tara!"

Gadis itu menghela napas. Padahal kolam air mancur itu tinggal satu tikungan lagi. Ia berbalik dan menghadang Karlo dengan pelototan. Sang pria nyaris terpeleset saat berhenti mendadak.

"Aku setuju menikah denganmu, Karlo, untuk kepentingan keluarga, bukan kursi wali kota." Tara meradang. "Itu tidak pernah ada di kesepakatan kita."

Seraya terengah-engah, Karlo berkata, "Aku tahu, Tara, karena itu dengarkan aku." Ia mengacungkan tangan. "Percayalah bahwa aku sebenarnya ingin mengatakan semua tadi kepadamu."

"Kenapa kau tidak menyampaikannya di surat?"

Karlo menatap dengan kalut. "Kalau aku menceritakan semua di surat, aku takut tidak ada alasan bagimu untuk pulang."

Tara menarik napas dengan tajam.

"Aku ingin kau pulang. Aku ingin kau melihat dengan mata kepalamu sendiri akan apa yang terjadi," bisik Karlo memelas. "Dan aku menyesal kau harus mendengarnya dari orang lain."

Segala umpatan yang sudah siap Tara lempar kini tertelan. Amarah redam bak noda terguyur air pancuran, meninggalkan kehampaan yang menggerogoti. "Jangan bilang kabar Deana juga hanya alasan." Ucapan Tara hampir tak terdengar.

"Tidak, tidak. Yang itu sungguhan," kata Karlo. Kelegaan merayap saat Tara menurunkan pandangan dengan lunglai. Ia pun menuntunnya untuk merapat pada kolam air. "Tetapi, pertama-tama, kau harus tahu bahwa aku mendengar ini setelah menguping pembicaraan para pengawal. Masalahnya, para pengawal bersikap semakin ketat kepadaku."

Karlo melongok ke belakang punggung. Tara ikut melihat ke arah sekitar, tetapi tak ada yang mencurigakan. Sulur-sulurnya juga menyusut lenyap. Ia tak mau menghabiskan stamina lagi setelah malam yang menguras mental.

Embers in the Night ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang