It's been a long time, right? Ada atau tidak nya yang menunggu cerita ini, tak mengapa. Tapi semoga saja ada, ya :)
Aku ingatkan, menulis cerita bukanlah keahlianku, tentu akan ada banyak kekurangan. Tolong dimaafkan.
Ready?
Langsung saja, selamat membaca :)
♡♡♡
Sepulang sekolah Jiselle banyak melamun. Ia masih terpaku pada apa yang dilakukan lelaki kaku dan irit bicara itu.
Mengapa tiba-tiba menariknya ke ruang UKS lalu mengobati luka kecil nya? Toh ini hanya luka kecil, Jiselle pun bisa mengobati sendiri.
Ia menatap siku dengan band aid menempel di sana. Tanpa sadar senyuman terbit dari bibirnya. Dalam hatinya, ia sebenarnya menyukai perhatian kecil itu.
Drrt... Drrt...
Getaran handphone menyentak kesadarannya. Jiselle pun menggeleng dengan cepat. Bisa-bisanya ia terus memikirkan kejadian tadi.
"Aish, sadar El!" Gerutunya lantas bergegas mengangkat panggilan.
"Mengapa lama sekali kau angkat, aku sudah berulang kali menelepon mu, El!"
Suara melengking dari seberang membuat Jiselle menjauhkan telepon genggam-nya dari telinga.
"Kau dari mana saja?" Tanyanya kini.
"Handphone ku mode silent. Jadi aku tak mendengar panggilan." Jiselle terpaksa berbohong.
"Ish kau ini, pantas saja. Ya sudah, cepat siap-siap."
"Siap-siap?"
"Iya. Ada pentas musik sekaligus bazar buku besar-besaran di ... di mana Jo?"
"GS centre."
"Ah ya! GS centre."
Jiselle mengerutkan kening. "Jo? Ada Jovanka di situ?"
"Yups, aku sedang di rumahnya. Masih menunggunya bersiap-siap. Latusya sudah on the way ke rumah mu. Kami menyusul. Jadi cepatlah bergegas agar aku tak perlu menunggu lagi, ok."
Tut.
Belum sempat Jiselle membalas, panggilan sudah diputus. Membuat ia harus cepat bersiap-siap. Meski sebenarnya malas melanda, mendengar ada bazar buku besar-besaran membuat ia sedikit mengenyahkan rasa malas. Sepertinya akan menyenangkan melihat-lihat.
♡♡♡
📍GS centre.
Ke empat sekawan itu sudah berada di tempat tujuan.
"Waw, ramai juga ya." Lea berujar.
"Tentulah ramai. Jika sepi, itu kuburan namanya." Latusya menyahuti.
"Iya, tapi bukan itu maksudku. Aku pikir tak akan seramai ini."
"Aku pun berpikir demikian." Jovanka menyetujui ucapan Alea, kemudian menoleh ke arah Jiselle.
"Sejak kapan pentas musik sepi pengunjung? Apalagi ini gratis." Kini Jiselle bersuara.
Ketiganya kompak mengangguk. "Iya juga."
KAMU SEDANG MEMBACA
ein MOMENT
Teen Fiction"Takdir manusia sudah ditentukan oleh Tuhan. Manusia hanya bisa berencana, berbagai cara antisipasi apapun yang dilakukan, jika Tuhan memang sudah berkata untuk pulang, aku bisa apa? Jadi, berhentilah untuk terus memaksa aku dan kau menjadi kita."...