Lembar 26

91 14 6
                                    

«e i n m o m e n t»



Langkah kaki terhenti seketika saat melihat seseorang yang sangat dibencinya ada di dalam rumah. Vero bahkan melangkah mundur saat sang Ayah berdiri dari duduknya.

Apa yang dia lakukan?

Ada kepentingan apa sampai datang kemari?

Pertanyaan itu terlintas dalam benaknya namun enggan keluar dari mulut. Ia terlalu malas bertanya karena yang ada ia malah akan tersulut.

William berjalan mendekat, kemudian berhenti tepat di depan Vero. Untuk sebentar ia menatap sang putra lekat, baru setelah itu mendekat dan berbisik di telinga.

"Sabtu ini kau harus datang ke gala dinner corporate event."

Vero mengerutkan kening, menatap tajam ke arah sang Ayah. Hendak membantah namun William menekan bahunya dengan kuat lalu kembali bicara.

"Jangan membantah atau kau akan tahu akibatnya. Jangan pernah sekalipun berani mempermalukan Ayah," ujarnya, sinis. Lalu menepuk pelan bahu Vero, memperingatkan bahwa dirinya tidak akan pernah bisa melawan.

William menarik napas dalam. Melihat sekeliling lalu berbalik sebentar ke arah Tania.

"Oh ya, sampai kapan kalian akan tinggal di sini? Tidakkah kalian rindu untuk tinggal bersama lagi?"

Hening.

Walau tak dihiraukan, lelaki paruh baya itu tidak peduli, ia mengedikkan bahu. "Well, don't forget! Sabtu, orang suruhanku akan datang menjemput kalian."

❤❤❤

"Jangan lupa untuk selalu meminumnya. We will do our best. Kau tahu itu, 'kan?"

Jiselle mengangguk. Senyum simpul tercetak. "I know," sahutnya pelan.

"Tapi, sekalipun tidak menemukan do-"

"Ssstt! Jangan diteruskan." Stefani memotong. Tidak ingin mendengar lanjutan kalimat Jiselle yang mungkin akan menyayat hati. Akan selalu ia usahakan bagaimanapun caranya.

"Cukup jangan memforsir apapun kegiatanmu. Jaga makananmu. Jangan lakukan hal-hal aneh. Dan pastikan perasaan dan emosionalmu tetap stabil. Mengerti?"

Mendengar penuturan itu, senyum kembali tersungging dari bibir hatinya. Jiselle selalu merasa bersyukur memiliki orang-orang baik disekitarnya.

Kali ini, ia memutuskan untuk bangkit dari duduk, diikuti dengan Stefani yang juga berdiri dan berjalan mendekat ke arah Jiselle.

"Tolong jangan pernah putus harapan. I love you kiddo." Stefani berujar lembut sembari memeluk erat.

Pelukan itu membuat Jiselle tidak jadi marah. Ia tidak suka dianggap anak kecil terus. Tapi Stefani dan Syam sama saja. Mereka selalu menganggap Jiselle anak kecil mau sedewasa apapun ia sekarang. Daripada protes yang akan berakhir sia-sia, Jiselle sudah menyambut pelukan itu tak kalah erat.

❤❤❤

"Jangan lupa hari sabtu, nanti aku yang dimarahi jika kau tidak datang."

"Ya, jika tidak lupa."

"Dasar keras kepala."

Mendengar kata keras kepala Syam terkekeh pelan. Bukan keras kepala, ia hanya malas. Malas jika sudah berkumpul dengan keluarga besar. Ia malas harus berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan keramat yang selalu sama setiap kali ia berada di sana.

ein MOMENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang