Lembar 18

121 20 6
                                    

"Tidak ada yang tidak mungkin, apapun bisa terjadi jika Tuhan sudah berkehendak. Termasuk mencintaimu. Mencintaimu bukanlah kemustahilan, tetapi keharusan yang harus aku segerakan."

~Vero~

❤❤❤

Seharusnya mereka tidak canggung. Tidak, bukan mereka, melainkan Jiselle. Ya, Jiselle rasa hanya dirinyalah yang merasa canggung. Pasalnya, Vero sangat terlihat biasa saja. Lelaki bermanik coklat itu justru tersenyum ke arahnya, seakan-akan tidak ada yang terjadi diantara mereka semalam. Berbeda dengan Jiselle yang benar-benar malu. Kejadian tadi malam benar-benar di luar dugaan. Ia tidak pernah menyangka jika mereka ... berciuman.

Damn.

That passionate kiss from him! Masih terbayang-bayang dalam ingatan. Buru-buru Jiselle menggeleng.

"Sadar, El!"

"Are you oke?" Tepukan di bahu sedikit menyentak. Ternyata tiga sekawan sudah berdiri bersisian di sebelahnya.

"Yeah, of course."

Jovanka menaruh curiga, tatapan mata Jiselle selalu mengarah pada Vero yang berdiri tak jauh dari mereka. Lelaki beriris coklat itu langsung berlalu setelah mendapat tatapan intimidasi pemilik mata kucing. "Are you sure? Aku tak yakin kau baik-baik saja."

Tahu jika Jovanka curiga, Jiselle mengalihkan pandang. Menatap sahabatnya dan menyentil hidungnya. "Aku tidak pernah merasa lebih baik dari ini sebelumnya." Smirk andalan keluar.

"Uuuu ... rupanya ada yang sedang berbunga." Latusya memicingkan mata. "Ceritakan!" Serunya, menuntut.

"Aih, tidak ada hal yang harus aku ceritakan. Aku hanya-"

"Ada!" Potong Alea cepat. "Kemarin saat istirahat kau tidak ke kantin. Kami hubungi dan bahkan mengirim pesan pun tidak kau balas. Kau kemana?"

Jiselle menelan saliva, ia jadi gugup sendiri. Ketiga sahabatnya sudah menatap curiga ke arahnya semua.

Kring!

Selamat! Bel masuk menyelamatkannya. "Nanti aku cerita. Sudah bel, aku harus cepat-cepat ke kelas. Kalian juga, 'kan?" Menepuk pundak ketiga sahabatnya kemudian bergegas mendahului.

"Awas saja jika kau tidak cerita!"


❤❤❤

Sesuai janji, awalnya ia hendak menghindar. Namun ternyata ketiga sahabatnya ini sudah menunggu di luar kelas. Membuat Jiselle mau tidak mau pergi ke kantin dan menceritakannya.

"Jadi kau sekarang harus pergi ke rooftop tiap kali istirahat?"

Anggukkan kepala sebagai jawaban.

"Kau tidak menolak saat diperintah untuk mejadi tutornya, El?"

"Bagaimana bisa aku menolak. Kepala sekolah langsung yang memerintahkan sesuai dengan usulan Pak Namu. Beliau bahkan tidak bertanya padaku, apakah aku bersedia atau tidak."

"Aahh ... i see. Sabar-sabarlah mengajarinya, El." Latusya menepuk-nepuk bahu Jiselle.

"Dia tidak sebodoh itu. Percayalah." Ucapan Jovanka menarik perhatian Latusya dan Alea. Gadis berbibir hati tak menyangkal. Jovanka benar.

"Benarkah? Kau tahu darimana?" Alea mencondongkan badan.

"Ey, kau lupa. Jovanka pernah dekat dengannya, 'kan? Si nol besar itu mantan incarannya."

ein MOMENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang