Lembar 29

91 19 19
                                    


Sebelum membaca lembaran ini, tolong eratkan pegangan. Part ini sedikit mengguncang.

Selamat membaca!

***

"Bukan salah bentala jika ia tak mampu memeluk semesta. Biar takdir yang menuntun mereka kembali bersama. Apapun hasilnya harus diterima dengan lapang dada. Berdoa saja semoga apa yang diperjuangkan berakhir harsa ... bukannya nestapa."

«e i n m o m e n t»

"Dasar anak kurang ajar!"

Bugh!

Satu pukulan keras menghantam filtrum. Vero yang tidak siap dengan pukulan mendadak itu terhuyung ke belakang. Ia bahkan baru melangkah masuk tadi.

Tania yang berada di sana pun dibuat terkejut bukan main.

"William! Apa-apaan?!" Memekik dengan kencang. Ia hendak berjalan menuju Vero, namun sang putra semata wayang memberi sinyal untuk menjauh. Ia tidak mau Bundanya kenapa-napa.

"Tetap di sana, Bun. I am ok." Berujar menenangkan.

William murka. Ditariknya kerah baju Vero. "Berani-beraninya kau pergi di saat acara belum selesai, huh?!"

Bugh!

Pukulan di perut sudah mendarat.

"Dasar anak pembangkang! Tidak tahu diri!"

William terus memukul. Menumpahkan segala amarahnya pada Vero. Sekali lagi, lelaki paruh baya itu melayangkan pukulan di hidung, kekuatan pukulan itu membuat Vero lagi-lagi terhuyung ke belakang. Pandangannya kabur sesaat karena benturan itu. Darah bahkan sudah menetes dari sana.

"William! Berhenti!" Tania berseru.

Sayangnya seruan itu tak diindahkan, seolah-olah Tania tidak ada di sana. William kembali melayangkan pukulan di bibir Vero.  Luka robek dan darah sudah mengucur deras.

Adrenalin Vero terpompa, diperlakukan seperti ini membuat amarahnya mulai memuncak. Tangannya sudah erat mengepal di sisi tubuh, otot-ototnya menegang. Tak kuasa menahan, ia hendak menyerang dan membalas namun suara Tania kembali menembus keheningan.

"William cukup! Hentikan sekarang juga!"

Suaranya bergetar karena marah dan menahan rasa sakit saat ia memohon agar William menghentikan amarahnya yang meledak-ledak.

"Anak kurang ajar ini harus diberi pelajaran! Berani-beraninya melarikan diri begitu saja. Dia sudah mempermalukan ku di depan seluruh kolega. Dasar pembangkang!"

Permohonan Tania diabaikan. Amarahnya masih membara. William melangkah maju, mengayunkan tinjunya ke arah Vero sekali lagi. Pukulannya mendarat tepat di rahang. Membuat Vero kembali terhuyung.

Pandangan Vero berputar saat rasa sakit menjalar ke wajah. Ia tak lagi kuasa menopang dan akhirnya ambruk ke lantai.

Melihat itu, Tania tersentak dan menjerit menyerukan nama putranya. Air mata sudah mengalir di wajah, hendak menghampiri namun William sudah lebih dulu menahannya. Memberi sinyal untuk tidak ikut campur karena ia belum selesai dengan putra pembangkangnya.

Tak gentar, Tania menampar keras pipi William— suaminya.

Ada sorot tak percaya. William terdiam. Belum pernah Tania berani melawannya. Ini adalah pukulan telak untuknya.

ein MOMENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang