"Mungkin pada awalnya jatuh cinta padamu bukanlah sesuatu yang aku idamkan. Tapi nyatanya, kau berhasil menjadi wanita yang aku dambakan."
~Vero~
-》《Ein Moment》《-
Tania senang bukan main saat mengetahui Vero datang bersama Jiselle. Beliau langsung terbangun dan menerima bucket bunga dari tangan gadis berbibir hati itu. Senyum pun tak luntur. Mereka berbincang cukup lama. Vero bahkan dengan mudahnya diabaikan oleh ibu kandungnya sendiri. Entah apa yang mereka bicarakan. Yang jelas lelaki jangkung itu dengar, sang ibunda mengatakan sangat terkejut ketika Jiselle membawakannya se-bucket bunga mawar biru. Beliau tak berhenti menyanjungnya.Vero hanya bisa tersenyum dan terkekeh sendiri, bundanya tidak tahu saja. Jika beliau tahu pasti dia akan menarik semua kata-katanya. Biarlah, tak mengapa, lelaki beriris coklat itu justru senang. Ia senang Jiselle bisa akrab dengan sang ibunda. Tidak tahu alasannya apa, tapi Vero benar-benar suka cara Jiselle berbicara. Dia sangat sopan. Terlebih lagi, gadis itu pandai menempatkan diri. Tahu di mana harus bercanda dan di mana harus serius.
"Vero, sini." Tania memanggil. Dengan cepat Vero bangkit dari duduknya. Berjalan menghampiri.
"Jiselle bilang kalian sekelas."
Vero memandang keduanya secara bergantian. "Ah, iya. Kami bahkan teman sebangku juga," ucapnya, ogah-ogahan.
Tania menutup mulutnya tak percaya. Lalu mengulum senyum. "Tuhan bahkan sudah merestui kalian untuk bersama."
"Mulai." Vero memutar bola matanya, malas.
Sedangkan Jiselle mengerjap dan tersenyum kikuk di tempatnya. Cukup terkejut mendengar ucapan Tania.
"Kau tidak tertarik dengan Vero, nak? Dia cukup tampan, lho." Dengan lantang menawarkan.
"Bunda, please."
Vero tak habis pikir. Bundanya benar-benar senang sekali mempermalukannya.
"Tapi, jika suatu saat nanti kau tertarik pada Vero, sebaiknya pikir-pikir dulu. Dia tidak se-cuek itu. Dia sedikit bawel dan selalu mengomel."
Lagi. Oh ayolah. Vero menutup matanya dalam.
"Bunda sudah minum obat untuk siang tadi?" Mengalihkan pembicaraan.
"Astaga! Bunda lupa." Tania menepuk dahinya sendiri.
"Bagaimana bisa lupa. Aku sudah mengingatkanmu, Bun. Bahkan aku menelepon saat di sekolah, tadi." Tangan sigapnya meraih laci.
Sedangkan Tania menepuk pelan bahu Jiselle. "See? Dia sangat bawel dan suka mengomel, 'kan?"
Senyuman tertahan. Hampir saja Jiselle tertawa kencang jika tidak buru-buru menutup mulutnya sendiri. Ia tahu, Tania pasti sengaja menjahili Vero.
Mendengar itu, Vero sudah menghentikan aksinya. Kembali meletakkan obat-obatan yang hampir saja dibukanya, lalu menutup laci.
Lelaki beriris coklat itu menghela panjang. "Tidak lucu," pungkasnya kesal.
"Memangnya siapa yang melucu? Tidak ada. Bunda hanya membuktikan perkataan Bunda saja. Jiselle harus hati-hati jika berpacaran denganmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
ein MOMENT
Teen Fiction"Takdir manusia sudah ditentukan oleh Tuhan. Manusia hanya bisa berencana, berbagai cara antisipasi apapun yang dilakukan, jika Tuhan memang sudah berkata untuk pulang, aku bisa apa? Jadi, berhentilah untuk terus memaksa aku dan kau menjadi kita."...