Lembar 8

110 20 1
                                    

♡♡♡

              
              Jovanka masih terlihat cemberut. Ia bahkan hanya diam saja dari tadi. Alea dan Latusya melempar tanya satu sama lain. Tak mengerti dengan sikap dingin yang diciptakan manusia bermata kucing di depan mereka ini.

Tok... Tok...

Ketukan pintu terdengar.

"Buka saja, Nek. Tidak dikunci."

"Nenek membawa nampan berisi camilan, bisa tolong kau bukakan, El."

"Aah, baiklah."

"Biar aku saja." Jovanka menyela. Kemudian berdiri bergegas membukakan pintu.

"Ada apa dengan Jovanka, El?" Buru-buru Latusya bertanya dengan suara yang nyaris terdengar bisikan. Suaranya hampir tak terdengar.

"Dia marah padaku."

"Kenapa bisa?"

"Kau melakukan hal apa sampai dia marah seperti kucing oren begitu, El?" Alea menimpali. Satu tangannya menutupi mulut. Antisipasi jikalau Jovanka mendengar.

"Dihabiskan ya." Nenek berujar.

"Siap laksanakan. Tak perlu disuruh pasti sudah kita habiskan, Nek." Itu Alea yang bicara. 'Kita' katanya, padahal satu toples bisa ia habiskan sendirian. Dia memang maniak makanan. Tapi anehnya, berat badannya tak pernah bertambah. Ia selalu ramping dan tetap ideal.

Latusya dan Jiselle hanya bisa menggelengkan kepala.

"Kalau begitu Nenek ke bawah lagi, ya. Kalau ada apa-apa tinggal suruh El saja. Dia tuan rumahnya. Kau tak keberatan kan, El?" Ucapnya bergurau.

Jiselle tergelak, mengangguk mengikuti gurauannya. "Tentu."

"Ya sudah. Silahkan dimakan."

"Terima kasih, Nek."

Ceklek.

Pintu kembali tertutup.

"El, kau belum menjawab pertanyaanku." Alea mendesak.

Aksi bisik-bisikan ini belum berakhir ternyata.

"Tak perlu bisik-bisik begitu, aku masih bisa mendengar." Suaranya terkesan datar. Tapi mampu membuat ketiganya terkejut dan saling melempar pandang.

"Tidak bisakah kau berpura-pura tak mendengar, Jo." Alea kesal sendiri.

"Ya sudah. Cepat katakan apa yang membuatmu marah. Jangan mendiamkan kita seperti ini."

"Aku tidak mendiamkan kalian."

Alea memutar bola mata malas. "Tapi kau diam saja dari tadi. Seperti kucing kurang belaian."

Latusya tergelak. "Hahaha."

"Berhenti menyamaiku dengan kucing!"

"Tapi kau memang mirip kucing. Benar 'kan, El?"

"Huh?" Jiselle mengerjap. Mengapa ia dibawa-bawa.

ein MOMENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang