"Beberapa moment yang kita buat secara naluri, ternyata membuatku nyaman— sehingga bertemu denganmu ... selalu aku gunakan hati bukannya paksaan."
~Jiselle~
—》《Ein Moment》《—
Satu tangannya ditarik saat Jiselle baru saja keluar kelas. Tahu siapa yang menariknya, Jiselle berusaha melepas genggaman. Namun sayang, tenaganya tak cukup kuat.
"Kita perlu bicara." Katanya, berujar datar.
Jiselle menghentikan langkah. Membuat orang yang menariknya ikut berhenti. Menoleh pada Jiselle.
"Bicara saja," titah Jiselle, lalu menepis genggaman di pergelangan tangannya. Gadis berbibir hati itu sedikit meringis kesakitan. Pergelangan tangannya merah.
"Maaf, aku tidak bermaksud kasar." Sesalnya.
Matanya jatuh saat melihat Jiselle menatap tajam ke arahnya. Bukan tatapan seperti itu yang ia harapkan. Sungguh, ia benar-benar tidak bermaksud kasar apalagi sampai menyakiti.
"Maaf jika tindakanku barusan membuatmu terkejut. Tapi kita benar-benar perlu bicara, Graciella," ungkapnya lagi.
Jiselle mendengus pelan. "Bicara saja sekarang."
Vero menggeleng. "Tidak di sini."
"Apa bedanya?"
"Please."
Jiselle terkejut. Vero baru saja memohon.
"Oke."
Vero mengangguk lega. "Baik. Sepulang sekolah, aku ingin kau pulang bersamaku."
"Huh?"
"Aku duluan."
Lelaki beriris coklat itu sudah pergi. Meninggalkan Jiselle dengan segala kebingungan, padahal gadis itu belum menyetujui permintaannya. See. Vero selalu seperti itu.
Sebenarnya apa yang mau dibicarakan? Sependek ingatannya, tak ada yang perlu dibicarakan atau bahkan diluruskan sekalipun ada kesalahpahaman.
♡♡♡
"El!"
Tepukan di bahu menyentaknya.
"Astaga!" Jiselle menoleh. "Alea, kau mengagetkanku." Menghembuskan napas kasar. Mengelus dada.
Melihat Jiselle mengelus dada Alea buru-buru duduk di sebelahnya, lalu memeluk. Ia teringat sesuatu. "Ah, maafkan aku. Aku lupa, El."
"Lain kali jangan begitu, Alea. Jiselle sangat sensitif, dia tidak bisa kau kagetkan sesuka hatimu seperti itu." Jovanka mengingatkan.
"Iyaaa. Maaf, El. Aku tidak bermaksud. Sungguh!" Mengacungkan dua jari membentuk huruf V. Ia benar-benar menyesal.
"It's ok. Tenang saja. Aku tidak selemah itu."
Menekankan kata lemah dan menatap Jovanka kesal. "Ya ya ya, kau memang kuat, sekuat manusia besi." Ledek gadis bermata kucing.
"Manusia besi? Iron man, Jo." Latusya mengoreksi.
"Apa bedanya? Manusia besi itu dalam bahasa indonesia! Begitu saja dikoreksi."
Latusya memutar bola matanya. Sabar.
KAMU SEDANG MEMBACA
ein MOMENT
Teen Fiction"Takdir manusia sudah ditentukan oleh Tuhan. Manusia hanya bisa berencana, berbagai cara antisipasi apapun yang dilakukan, jika Tuhan memang sudah berkata untuk pulang, aku bisa apa? Jadi, berhentilah untuk terus memaksa aku dan kau menjadi kita."...