Baca lembaran sebelumnya jika lupa dengan alurnya.
Selamat membaca!
--------
"Keberatan tidak jika kutemani mewujudkan semua wishlist-nya?"
-Vero-
«e i n m o m e n t»
Tok ... Tok ....
Ketukan di daun pintu mengusik Jiselle yang sedang bersiap-siap. Ia sudah menoleh, tak lama sang nenek menyembul dari sana.
"Vero sudah di bawah," katanya memberitahu.
"Baik, Nek. Sebentar lagi."
Melisa tersenyum. "Sudah cantik sayang. Tak perlu bercermin terlalu lama."
"Nenek ...."
"Iya, iya. Yasudah cepat, ya. Kasian dia sudah menunggu dari tadi."
Jiselle menggangguk. Merespon tanpa jawaban. Kembali memastikan penampilannya. Dia melirik ke cermin, merasa puas dengan penampilannya. Navy blue dress menonjolkan warna matanya dan riasan sederhana menonjolkan fitur alaminya. Dia menarik napas dalam-dalam, merasakan campuran kegembiraan dan rasa gugup di perutnya.
"Take a deep breath. Tenang, El. Ini hanya dinner biasa, ok." Monolognya, berusaha tenang. Jiselle terus mengulang kata-kata 'jangan gugup' pada dirinya sendiri, tapi sepertinya itu tidak banyak membantu.
Sambil menarik napas dalam-dalam, Jiselle memeriksa dirinya di cermin untuk terakhir kali, memastikan semuanya sudah beres, rapi dan tentunya sempurna. Dia kembali mengambil waktu sejenak untuk menenangkan diri, mencoba menenangkan kupu-kupu yang beterbangan di perutnya.
Setelah siap. Akhirnya Jiselle turun ke bawah. Matanya menangkap sosoknya. Padahal, ia sudah sering melihat Vero, tapi ... saat dia semakin dekat dengannya, hatinya seperti dipenuhi bunga-bunga. Cukup terpaku melihat sosoknya yang tinggi dan ramping, mengenakan sweter biru tua dan blazer dengan warna senada yang menonjolkan bahu lebarnya. Kemudian celana jeans gelap yang menutupi kakinya yang kencang. Rambutnya yang sengaja dibiarkan sedikit acak-acakan membingkai wajahnya dengan sempurna, kemudian senyuman kecil yang tersungging di sudut bibirnya membuat jantung Jiselle berdebar sangat kencang tak karuan.
Dia selalu sangat tampan, melihatnya seperti ini membuat pikirannya dipenuhi dengan pikiran mengagumi tanpa mau berhenti.
"Cantik," pujinya saat Jiselle sudah berdiri tepat di hadapannya, memberi senyuman hangat. "Kau selalu terlihat sangat cantik." Meralat. Lalu maju sedikit untuk melihat penampilannya, tatapannya mengamati dari ujung kaki sampai dengan ujung kepala. Dia tidak bisa menahan perasaan berdebar saat memandang gadisnya.
"Thanks, you too," balas Jiselle seadanya dengan senyum simpul indahnya. Ia terlalu gugup.
"Ready to go?"
Anggukkan kepala sebagai jawaban. Vero tersenyum kemudian beralih ke arah Melisa. Berpamitan.
"Jangan kemalaman," ucap sang nenek kepadanya.
"Siap, Nek. Kalau begitu kita pergi dulu," pamit Vero. Diikuti Jiselle yang memeluk sang Nenek sebelum pergi.
"Hati-hati di jalan." Beliau menghimbau.
Kini dengan lembut Vero meraih lengannya, merasakan sensasi kepuasan dalam dirinya karena sikap sederhana saat Jiselle menerima tawarannya. Mereka mulai berjalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ein MOMENT
Teen Fiction"Takdir manusia sudah ditentukan oleh Tuhan. Manusia hanya bisa berencana, berbagai cara antisipasi apapun yang dilakukan, jika Tuhan memang sudah berkata untuk pulang, aku bisa apa? Jadi, berhentilah untuk terus memaksa aku dan kau menjadi kita."...