Lembar 30

65 17 9
                                    

"Setiap yang bernyawa pasti akan pergi juga."

«e i n m o m e n t»

          Hamparan tanah lapang membuatnya kebingungan. Telapak kakinya sudah menjenjak sejauh yang ia bisa. Tempat ini seperti belum pernah terjamah. Netra-nya terus mencari di mana batas pengembaraan.

Di mana semua orang? Mengapa tidak ada siapa-siapa?

Ia mulai ketakutan.

Berada di ujung kematian memang bukanlah yang pertama kali untuknya. Ini sudah yang kesekian. Namun yang ini ... adalah yang paling menyakitkan sekaligus menakutkan. Mengapa saat harapannya untuk semangat hidup dihadirkan, secepat itu pula dipatahkan.

Raganya ada, namun jiwanya sudah melanglang buana. Enggan kembali pada sang pemilik daksa, sebab alasannya untuk bertahan telah hirap ... aksa dalam rengkuhannya. Bahkan semesta tak bisa menolong apa-apa.

❤️❤️❤️


Dr. Stefani langsung menghubungi Dr. Syam saat layar monitor rumah sakit yang terhubung di jam tangan Jiselle menunjukkan gejala sindrom taki-bradi.

Setelah itu, ia hendak menelepon Jiselle. Menanyakan keberadaan gadis itu namun telepon genggamnya lebih dulu berbunyi.

"H-halo, Dok? Saya bersama non Jiselle sedang di perjalanan menuju rumah sakit."

"Katakan dengan detail keadaannya. Pastikan denyut nadinya teraba!"

Tepat setelah mengatakan itu Stefani dengan cepat berlari sembari mendengarkan penjelasan keadaan Jiselle dari telepon.

"Code blue!" Serunya.

"Semuanya bersiap! Seorang pasien 16 tahun dengan riwayat penyakit jantung bawaan sedang dalam perjalanan kemari."

Mendengar itu, tim paramedis bergegas menyiapkan semua yang diperlukan. Semuanya sangat cekatan dan berlari mendekat pada pintu utama. Stefani dan tim paramedis sudah menunggu dengan gusar.

"Apa ini Jiselle, Dok?" Ners berambut ikal bertanya.

Mengangguk dengan wajah pucat. "Yaaa," jawabnya. Intonasi panik begitu terasa.

"Ya Tuhan." Bahu semuanya langsung merosot setelah mendengar itu. Jiselle adalah salah satu pasien prioritas di rumah sakit ini. Hampir semua tim medis mengenalnya.

Mobilnya kini sudah terlihat di area rumah sakit. Pak Dinu segera berlari membawa Jiselle dalam gendongan. Begitupun dengan paramedis yang bergegas. Secepat mungkin Jiselle dibaringkan pada brankar yang sudah disiapkan.

Stefani mencoba tidak panik. Menatap wajah pucat itu dengan rasa khawatir yang memuncak di dada.

"Hold your tears Stefani!" Ucapnya pada diri sendiri, menguatkan.

Ia buru-buru membuka jalan napas dengan meletakkan tangannya ke dahi Jiselle menggunakan tekanan ke bawah, sementara jari tengah dan telunjuk tangan lainnya mengangkat dagu gadis berbibir hati yang sudah mulai membiru. Selama sepuluh detik, ia mendekatkan telinganya ke mulut Jiselle dan mendengarkan bunyi napas serta memantau gerakan dada.

"Saya tidak bisa merasakan denyut nadi nya, Dok!" Seorang Ners yang lain berseru.

Shit!

Tanpa ba-bi-bu Stefani naik ke atas brankar sembari didorong menuju ruang ICU, ia harus cepat melakukan resusitasi jantung sebelum terlambat. Ia meletakkan satu tangan di pertengahan bawah tulang dada Jiselle dan tangan satunya lagi ditumpukkan di atas tangan pertama. Ia mulai memompa dinding jantung. Kompresi dilakukan berirama dengan kecepatan 100-120 kali per menit dan dengan kedalaman minimum 2 inci (5cm) - 2,4 inci (6cm).

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 7 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ein MOMENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang