14

221 18 0
                                    

Bebas dari penjara lalu menikah dadakan membuat Adiba kewalahan dengan suasana hatinya. Terlalu gembira bercampur bingung dan ketakutan. Pegangannya hanya satu, yaitu mematuhi apa pun kata suaminya, Bapak Diaz Nareswara.

Usia Diaz mencapai 29 tahun saat menikahi Adiba yang berusia 21 tahun. Sebelum itu, ia masih betah membujang sampai ketika ia memasukkan Adiba ke hatinya.

"Hiks, hiks, hiks ...." Adiba terisak-isak dalam keadaan bugil, duduk di tengah ranjang. Ia ngeri melihat bercak merah di tengah seprai serta rasa berdenyut-denyut nyeri bekas meregang dan digojlok dalam inti tubuhnya. Ia mengusap-usap air matanya yang terus saja mengalir tak bisa dihentikan.

Diaz, dalam keadaan sama bugilnya berlutut mendekap Adiba dan mengusap-usap rambut istrinya. "Maafin Mas, Diba. Mas nggak menyangka kamu jadi kesakitan. Mas tadi lupa diri soalnya sudah lama banget Mas mendambakan hari ini," bujuk Diaz.

Adiba meliriknya dengan mata berkaca-kaca. "Saya takut, Pak, nanti mau pipis bagaimana? Kan itu berdarah. Heu hu hu ...." Dia nangis lagi.

"Nggak apa-apa kok, Diba. Itu beda jalur. Kamu bisa pipis seperti biasa, dan yang tadi lukanya palingan 2-3 hari sudah sembuh, kok."

Adib tetap saja menangis. "Hu hu hu ...." Lututnya beringsut merapat. Ia ingin pipis setelah tadi dipenuhi punya Bapak Diaz, tetapi terlalu takut melakukannya.

Diaz melihat gelagat itu. Ia bertanya dengan lembut. "Adek mau pipis?"

Adiba mengangguk sembari mengusap air matanya. Wajahnya memelas yang membuat Diaz iba sekaligus gemas. Diaz beranjak turun dari ranjang. "Ayo, sini ikuti Mas. Toiletnya ada di sini."

Adiba beringsut takut-takut dengan kaki merapat dan gemeletar. Agak meringis, ia berusaha berdiri.

"Kaki kamu lemas?" tanya Diaz prihatin. Adiba mengangguk yang membuat Diaz tersenyum. "Aduh, maafin Mas, ya Dek," ucapnya lagi. Ia dekati Adiba lalu ia gendong istrinya itu dan membawanya ke toilet duduk.

Adiba benar-benar asing dengan semua fasilitas mewah rumah itu. Ia takut menyentuh barang-barang di dekatnya. Diaz jadi terenyuh. Ia beri Adiba arahan menggunakan toliet. "Ini Diba kamu pipis aja, lalu tekan tombol ini. Ntar airnya menguras sendiri dan air pencucinya muncrat otomatis."

"Ooh." Adiba terkesima dengan sistem pengairan toilet tersebut. 5 tahun mendekam di penjara membuatnya ketinggalan banyak hal. Ada keran cuci tangan dan shower mandi yang mengeluarkan air sesuai sensor. Lalu ada penyetel air panas dan dingin. Serta bak besar panjang yang ternyata buat mandi berendam. Belum lagi luasnya toilet itu seperti sebuah kamar tidur muat 5-10 orang.

Selesai cuci bersih area itu, Diaz bungkus tubuh Adiba dengan jubah mandi lalu digendongnya lagi kembali ke kamar. Karena Adiba ketakutan dengan bekas darahnya, Diaz singkirkan bedcover itu, lalu mereka pakai seadanya kasur baru tersebut.

Diaz mendekap Adiba di pangkuannya. Istrinya itu sudah tenang sehingga ia bisa membicarakan hal lain. Diaz memperkenalkan remote AC dan remote smart TV, jaringan Wifi di apartemen itu serta telepon genggam model terbaru. Adiba mendengarkan penjelasan Diaz dengan perhatian penuh. Pria itu memperlihatkan ponselnya yang berwallpaper potret diri duduk di bangku kafe semacam di negeri Eropa. "Ntar Mas beliin satu buat kamu, jadi kalau ada apa-apa, Mas enak hubungin kamu," ucap Diaz.

"Iya, Pak, eh ... Mas," ucap Adiba kikuk.

Diaz tertawa kecil. Ia kecup pelipis Adiba. Sekali, lalu berkali-kali karena ia gemas dengan gadis selugu itu. Ia ucapkan berulang-ulang. "Istri Mas, istri Mas, uhh, akhirnya kamu jadi istri Mas. Setahun lebih Mas menahan keinginan ini, Diba, akhirnya hari ini terlaksana sudah. Huaahh, tak terkira bahagianya Mas, Diba."

Impromptu Affair/MENDADAK PELAKOR (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang