17.

156 15 1
                                    

Malam itu, bukan hanya Adiba yang hancur dihempaskan kenyataan. Diaz Nareswara juga mengalami kehancuran yang sama. Melihat Adiba melangkah pergi dienyahkan dari hidupnya, membuat Diaz mati rasa. Dia diam tak bergerak terlekap di lantai, tak berkedip menatap ceceran darah di ruang tengahnya. Pintu kamar mandi terbuka sedikit dan Diaz bisa melihat seorang pria di sana menyiram toilet berkali-kali karena tersumbat lalu menggunakan tongkat pembersih mengenyahkan sumbatan itu. Cairan kemerahan meluap di bibir toilet. Ia tahu penyebab toilet tersumbat itu. Gumpalan besar darah dagingnya yang disingkirkan ayahnya bagai kotoran. Perasaan Diaz lebih buruk daripada mati. Ayahnya sendiri berkelakuan lebih buruk dari binatang.

Bagian terburuknya, walaupun ia tahu pasal-pasal tindakan kriminal yang dilakukan ayahnya, ia tidak bisa melakukan apa pun. Istrinya disiksa dan diusir. Calon anaknya dibunuh dan dibuang seperti kotoran. Ia dipukuli seperti pencopet jalanan. Namun, tidak ada secuil hal pun bisa dilakukannya. Ia telah gagal sebagai suami, ayah, dan manusia. Hukum yang selalu dijunjung tinggi olehnya gagal melindunginya. Ayah yang menjadi panutan dalam hidupnya menjadi penjahat terkejam yang pernah ditemuinya.

Prabu Nareswara menatap mencemooh putranya yang setara dengan telapak kakinya. "Jika kau berpikir akan mencari perempuan itu dan mencoba melawanku lagi, kau bukan hanya akan mendengar kabar tentangnya, tetapi kau juga akan melihat jasadnya. Ayah akan buru dia dan memusnahkannya selamanya dari dunia ini. Camkan itu, Diaz. Seorang singa tidak membesarkan seekor kucing. Yang telah terjadi hanya kerikil kecil dalam hidupmu. Jadi, berhenti cengeng!"

Diaz bergeming tak menjawab, karena tahu itu sia-sia. Hanya dalam hati ia bisa memelas. Maafkan Mas, Diba .... Maafkan Mas ....

Diaz tidak bereaksi ketika anak buah ayahnya menelentangkannya. Dari suram menatap lantai yang merah, ia kesilauan oleh cahaya lampu kristal di atas sana. Sayup-sayup ia dengar suara gema tawa ayahnya. Ia lebih mendengar suara teriakan Adiba meskipun gadis itu sudah lama pergi. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana Adiba mengatasi penderitaannya. Diaz meratap dalam sesal tiada berguna.

Prabu merasa malu pada anak buahnya melihat putranya selembek itu. Ia berujar pada mereka. "Kita pergi dari sini. Biar putraku meresapi pelajaran yang didapatnya hari ini."

"Baik, Pak!" sahut kelima orang itu.

Kemudian rombongan itu berlalu dari hadapan Diaz bersama tawa terbahak-bahak Prabu Nareswara. Pintu berdebam lalu keadaan pun sunyi senyap. Barulah Diaz bersuara. Ia berteriak sekeras-kerasnya bersama derai air mata. "Aaaarrrggghhh!"

Tidak ada seorang pun datang untuk menolongnya. Namun, ia hanya minta satu hal. Seseorang menolong Adiba-nya.

***

Pagi menjelang menerangi penjuru kota Jakarta seperti harapan baru kehidupan yang lebih baik. Jika Adiba berharap kematian datang menjemputnya, maka kehidupan belum mau melepaskannya. Ia pingsan di pinggir jalan dan untungnya ditolong orang-orang baik yang mengais rezeki di kota Jakarta semenjak dini hari. Adiba dibawa ke Rumah Sakit Cinta Sejati dan sedang dirawat di ruang gawat darurat. Bik Esah yang setia mendampinginya disuruh duduk di bangku tunggu selama paramedis melakukan tindakan. Perempuan tua itu tidak henti-hentinya menangis tersedu-sedu.

"Pasien kehilangan banyak darah post abortus, Dok," kata perawat pada dokter perempuan yang memeriksa Adiba. Dokter itu membaca-baca hasil laboratorium pemeriksaan darah, lalu membuat nota. "Siapkan transfusi untuk golongan darah B negatif," katanya

"Baik, Dok!"

Perawat lalu ke meja untuk menelepon ke bagian bank darah. "Hah? B negatifnya kosong ya? Aduh, mana pasiennya drop banget lagi."

Di sambungan telepon menyahut. "Iya, nanti siang para pendonor baru bisa datang. Aku akan menelepon beberapa orang yang memiliki golongan darah B negatif supaya datang lebih awal."

Impromptu Affair/MENDADAK PELAKOR (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang