16

150 16 1
                                    

Peribahasa 'Darah lebih kental daripada air' seharusnya menjadikan Diaz punya ikatan yang kuat dengan ayahnya, Prabu Nareswara, seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang terhormat. Namun, semakin ia dewasa, kekentalan darah itu membuatnya tercekik dan menenggelamkannya, seolah napasnya dibuat berhenti.

"Aku datang untuk menghentikanmu menghancurkan hidupmu, Diaz," ujar sang ayah dengan rahang terkatup rapat.

Diaz berusaha merendahkan suaranya agar tidak membuat Adiba khawatir. "Ayah, tolong. Tidak ada lagi yang perlu kita bahas soal ini. Aku sudah dewasa, Ayah. Aku berhak menentukan sendiri apa yang ingin kulakukan."

"Omong kosong!" hardik Prabu.

Ayahnya, orang yang paling dihormatinya, malah mendorong pintu rumahnya hingga terbuka lebar dan melangkah masuk bersama 5 orang centengnya. Pintu tertutup rapat di belakang mereka.

Diaz berdiri di tengah selasar dengan tangan terentang dan bersuara lantang. "Aku minta Ayah berhenti! Pergi dari sini karena ini properti pribadi, Ayah!"

Adiba mendengar suara riuh sehingga ia mengintip ke pintu depan. Jantungnya berdebar cepat karena takut jangan-jangan Tuan Mahmud yang datang. Namun, mendengar ucapan Ayah, sedikit membuat Adiba keheranan.

"Anak kurang ajar!" bentak Prabu seraya melayangkan tinju ke wajah Diaz. Bunyinya sangat keras dan tidak tanggung-tanggung membuat Diaz terhunyung ke belakang.

"Mas!" Adiba berteriak seraya berlari mendatangi Diaz lalu menahan tubuh suaminya agar tidak roboh. Sepasang kekasih itu terduduk di lantai, mendongak menatap pria yang berkacak pinggang di hadapan mereka.

"Belum jadi apa-apa kau sudah berani melawan Ayah, hah? Semua karena perempuan ini!" cerca Prabu lalu dua anak buahnya bergerak ke belakang Adiba dan menarik gadis itu.

"Mas!" pekik Adiba berpegangan erat ke tangan Diaz, begitu juga Diaz memegangnya.

"Adiba!" desah Diaz.

Pegangan keduanya terlepas saat Adiba ditarik lebih keras hingga diseret ke dalam. "Maas!" Gadis itu berteriak sambil jemarinya berusaha mencakar lantai marmer.

"Lepaskan Adiba!" teriak Diaz sambil berusaha bangun. Ia melangkah sempoyongan menyerang salah satu pria yang menarik istrinya. Namun bogem keras dari dua tiga orang lainnya menghantam wajah Diaz. Ia ditekan hingga terkapar di lantai, perutnya ditendang serta mukanya dipukuli hingga bonyok.

"Tidaaaak! Maaas!" Teriakan Adiba menggema. Penglihatannya kabur kepenuhan air mata. Dilihatnya darah menyembur dari mulut Diaz dan setengah sadar akibat dipukuli. Dalam pikiran Adiba merasa itu semua hanya mimpi. Orang-orang itu pasti anak buah Tuan Mahmud karena ... tidak mungkin Ayah Mas Diaz memukuli anaknya sendiri sampai sedemikian rupa. Ini pasti bohongan. Ini pasti tidak mungkin terjadi.

Namun, mimpi tidak berakhir sampai di situ. Bik Esah muncul dan terpekik melihat Tuan dan Nyonya majikannya diperlakukan sekejam itu. Bik Esah gemetaran hendak menelepon, tetapi seorang pria merebut ponsel Bik Esah lalu melemparnya sehingga hancur berkeping-keping. Bik Esah dipukul wajahnya sehingga jatuh berlutut lalu didorong ke sisi Adiba.

Adiba melekap di lantai dengan kedua tangan direntangkan paksa dan punggungnya ditekan dengan lutut oleh tiga pria yang mengerubutinya. "Maaas ...," erang Adiba memanggil Diaz yang tetap saja dipukuli.

Diaz dipaksa bersujud di kaki Prabu lalu darah segar muncrat dari mulutnya, terpercik ke sepatu lars dan celana ayahnya. Prabu berjongkok lalu memaksa kepala Diaz menoleh pada Adiba. "Demi perempuan ja.lang ini kau mengkhianati keluargamu sendiri. Aku sudah cukup sabar membiarkanmu, tetapi semakin hari kau semakin menjadi-jadi. Berpikirlah smart! Dia hanya ingin hartamu, Diaz. Perempuan dari kalangan dia tidak lebih dari seekor lintah. Ayah sedang menyelamatkanmu dari cengkeraman dia. Lihat dia baik-baik karena Ayah akan mengakhiri hubungan kalian. Perempuan ini tidak akan pernah lagi menjejakkan kakinya di hidup kamu."

Impromptu Affair/MENDADAK PELAKOR (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang