Bab 10. Fullsun, Kutukan Hubungan Matahari

55 22 80
                                    

Hujan bukannya semakin reda malah semakin deras membanjiri bumi. Gina yang sudah bad mood duluan jadi lebih buruk. Baru saja dirinya bertemu dengan alasan dirinya menjadi tidak bersemangat. Ditambah dengan langit yang juga nampaknya paham akan kondisi hatinya saat ini.

Kebohongan yang dilakukannya dengan beralasan kelupaan buku catatan, hanyalah sebuah alibi. Aslinya Gina hanya bermaksud untuk mendekam diri dalam ruangan hening, kelas yang dia pakai terakhir sebelumnya. Masa bodoh dengan waktu yang entah sudah menunjukkan pukul berapa. Langit gelap di luar juga layaknya tak memberi kesempatan untuk menunjukkan waktu sekarang. Tidak ada cahaya, hanya derasnya suara hujan yang berlomba berjatuhan menyentuh atap gedung kelasnya.

Gina tidak tahu, Mavi yang dia tinggalkan sendirian sekitar lima menit yang lalu sudah pulang atau belum. Rasa kesal bercampur kecewa berkecamuk di dalam dadanya. Membuatnya keseringan untuk menghela napas berat. Nasib percintaan yang rupanya begitu rumit dia jalankan. Suka hanya pada satu pihak, ternyata baru dia sadari rasa sakit dan lelahnya.

"Lagian. Lo terlalu banyak berharap, sih. Bodoh," tuturnya.

Gina sudah tidak peduli lagi dengan notif pesan dan telpon yang membanjiri layar ponselnya. Gina ingin melakukan hal yang orang bilang begitu memberatkan namun tidak ada objek yang ditimbang. Dirinya ingin menggalau saat ini. Apalagi, cuaca dingin yang mencekam dalam ruang hening memberinya sebuah dukungan untuk bersedih-sedih.

"Ini anak! Bukannya jawab telpon malah asik duduk sendirian di sini. Capek banget gue carinya."

Gina menoleh hanya untuk melihat siapa yang tiba-tiba saja datang dan langsung memberinya sebuah ocehan. Yang tidak jauh lain adalah musuh bebuyutan yang entah sejak kapan keduanya malah terlihat lebih dekat.

Henan masuk ke kelasnya. Ikut mendudukkan diri tepat pada bangku yang berhadapan dengan Gina. Gadis itu nampak tidak peduli dengan keberadaannya. Terlalu sibuk menatap keluar yang entah apa asiknya menonton perlombaan air jatuh membasahi kaca.

"Kenapa lo?" tanya lelaki itu.

Duduk menghadapnya dengan kedua kaki yang berada pada sisi kursi. Menopang dagu pada lipatan tangan dan menatap Gina seolah memberi ajakan untuk bercerita.

"Gak kenapa," jawaban yang terdengar begitu tidak semangatnya.

"Lo sudah makan, kan?"

"Hm."

"Terus? Kenapa masih kayak orang yang belum makan? Atau lo lapar lagi?"

"Gak, Hen."

"Ck! Kenapa, sih?" Hingga Gina hanya memilih untuk diam tidak membalas.

Henan sudah menyelesaikan kelas akhirnya. Sebelum sempat mampir di kantin fakultas Jeon untuk diajak cerita sedikit. Katanya mengulur waktu mungkin saja dirinya yang lebih cepat selesai dibandingkan Gina.

Baru saat dirinya ingin ke parkiran namun hujan mengguyur lebih duluan. Membuat Henan mengurungkan niatnya dan berakhir berteduh dalam gedung fakultasnya. Menatap nanar ke depan pada halaman yang mulai penuh akan genangan air hujan.

Beberapa menit setelahnya, dirinya malah mendapat pesan dari Sela. Awal bingung dari mana anak itu mendapatkan nomornya, teralihkan pada pertanyaan gadis itu soal keberadaan Gina. Henan hanya membalasnya dengan sebuah kemungkinan yang masih ada kelas. Namun, berakhir dibantah dengan sebuah fakta kalau kelas Gina hanya berakhir pukul dua siang. Yang entah mengapa, malah membuatnya panik pelimpungan tidak jelas.

Menghubungi nomor Gina beberapa kali namun tidak mendapat respon. Bahkan dengan beraninya Henan mengumpat dalam sebuah pesan yang dikirim kepada gadis itu. Meskipun dia tahu akhirnya akan menimbulkan sebuah keributan layaknya anak-anak lagi. Tapi rasa panik lebih membelenggunya saat itu. Sebab dirinya yang sekarang merasa bertanggung jawab untuk mengantarkan gadis itu pulang.

[✓] Campus Love Story [Lee Haechan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang