Monoton.

14 2 4
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.....

Cafe The Cinnamon pukul tiga sore.

Aku dengan jaket jeansku setengah gelisah. Celingak celinguk menilik kesegala arah. Gelisah, menunggu seseorang.

Putih, perempuan yang terlalu akrab bagiku. Melewati 6 tahun hidupku yang tidak menentu dengan genggaman orang yang sama.
Kau tahu, hal-hal yang monoton adalah gerbang menuju bosan. Rutinitas yang intens dengan obyek yang sama akan melahirkan jenuh. Sebagai manusia biasa, manusia yang dialiran darahnya mengalir hasrat dan ego, masa mudaku butuh lebih dari ini. Katakan saja aku jenuh dengannya.

Bukan, aku masih sayang padanya jika dibenakmu muncul tudingan itu. Dia wanita yang menumbuhkan gairahku, yang membuatku menertawakan kenorakanku sebagai sesuatu yang wajar. Kau harus tahu siklus hubungan jangka panjang untuk mengerti situasiku. Hanya jenuh, itu saja.

Rasa jenuh selalu membuat ego melakukan makar, mencari hal-hal baru diluar rutinitas datar demi menyelamatkan selera hidup. Ku habiskan waktuku pada pekerjaanku, pada teman-temanku atau hobiku yang hampir saja kulupakan karena terlalu fokus cinta-cintaan.

Kau harus setuju, hidup bukan cuma soal cinta. Masih ada banyak hal yang harus kurengkuh. Tentu saja, seperti yang sudah tertebak olehmu, Putih merengek. Merasa di nomor duakan oleh rutinitasku, merasa aku berubah dan menuding macam-macam. Kami bertengkar hebat minggu lalu, saling memaki dan berteriak.

Hingga kemudian dia tiba-tiba diam. Menyembunyikan isi kepalanya yang misterius. Menyembunyikan kecurigaannya yang bagiku adalah bom waktu kehancuran. Dia tidak bicara, tidak merengek, tidak ada pesan text menuntut perhatian. Dia diam dan aku bungkam. Aku pikir ini baik, mungkin dia mulai mengerti poin pikiranku. Hubungan tidak melulu butuh komunikasi yang intens khususnya dalam kasus kami (hubungan jangka panjang). Hingga kemudian tadi pagi, aku menerima satu missed call darinya.

Aku tidak menelfonnya, aku hanya mengiriminya pesan teks perihal ada apa dengan satu panggilannya setelah berhari-hari dia diam. Lalu katanya dengan segala hormat dan kerendahan hati, dia memintaku menyisihkan waktu sejenak untuknya demi mendengar beberapa kalimat penting yang mesti dia sampaikan. Aku setuju saja, toh hari ini tidak ada hal yang akan ku lakukan.

Seorang pelayan pria menghampiriku, menaruh pesananku lalu berlalu. Disusul langkah Putih yang tergesa mendekat.
Aku menoleh, tanpa ekspresi dia telah duduk di hadapanku.

"Agak telat, mesti mampir dulu tadi. " Katanya tanpa melihatku. Dia terlihat sedikit muram, meski wajah cantiknya tetap saja menarik bagiku.
Dia menatap mataku. Meneliti sesuatu yang tidak bisa kutembus. Aku diam saja. Membiarkannya menikmati isi kepalanya dan aku menikmati kopiku.

"Mendadak ya? Semoga ngak ganggu kamu. " Dia membuang pandangannya ke arah pintu masuk, menghela nafas pelan. "Hal-hal yang terburu-buru sebenarnya memang ngak baik, tapi lebih baik dari pada menunda." Aku masih diam saja menatap kosong pada ornamen lampu cafe. "Aku udah mikirin. Setelah ribuan pertanyaan yang berusaha aku jawab sendiri. Setelah menimbang, aku paham."

Setia itu, Mitos!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang