.....
Klasik sebenarnya. Kalian bisa menemukan kisah yang sama dimana-mana. Dan aku bisa bilang, banyak orang yang mengalami hal serupa.
Namun, tidak semua orang beruntung bisa survive hingga garis finish dan menceritakan kisah heroiknya pada anak cucunya kelak. Ada juga yang akhirnya terbuang dengan sia-sia, yang bahkan takdir tidak akan peduli, seberapa menyedihkannya makhluk yang tersisihkan itu.
Pemilik kisah tidak beruntung itu adalah aku. Menjalani sebuah hubungan berat selama enam tahun, dimana Ibu pacarku tidak pernah setuju aku untuk jadi pasangan anaknya. Dan aku yang naif masih percaya, bahwa kami, aku dan Rio, akan baik-baik saja asalkan mau berusaha.
Lagi pula pacarku sangat memperjuangkanku. Dia mencintai dan memprioritaskan aku lebih dari apapun. Tak jarang dia harus main kucing-kucingan dengan sang Ibu demi bisa mengantar aku mengurus berbagai macam hal demi melancarkan penulisan skripsiku. Dia sempurna buatku.
Dan kamu harus tahu kalimat meyakinkannya. Tepat di usia lima tahun hubungan kami, aku yang nyaris menyerah memilih mundur saja. Untuk apa berjalan lebih lama lagi jika sang Ibu tidak pernah sedikitpun membuka hati agar aku dapat masuk ke dalam keluarganya. Bagiku saat itu besok atau lusa sama saja, berpisah sekarang mungkin lebih baik dari pada nanti namun tetap akan sama juga akhirnya.
Tapi pacarku yang baik ini, lelaki yang selalu mau menurunkan egonya demi mengerti aku yang pemarah dan labil ini, dapat mengembalikan seluruh tegar yang telah rapu beberapa saat yang lalu itu.
Katanya, "Jangan nyerah, Una. Aku masih berjuang buat kita. Aku yakin, Ibu bakal suka kamu kok. Anaknya aja cinta mati banget. Udah, bertahan sama aku yah? Setuju?". Juga kalimat lainnya seperti, "Bagi aku cuma ada Una. Nga ada lagi. Nga bisa nyari lagi. Sama Unaku aja..." Lirihnya sambil memelukku erat-erat. Lalu, bagaimana mungkin aku menyerah. Memilikinya saja telah membuatku senang kesetanan. Maka jalani saja hubungan dengan akhir abu-abu ini. Toh, jodoh ngak kemana kan?
Semuanya tampak membagiakan. Selalu menyenangkan memiliki Rio disisiku. Kami baik-baik saja, meski hanya keluargaku yang menerima hubungan kami. Aku juga gak bakal nikah sama Ibunya. Lagi pula Rio cinta mati. Tidak ada yang mesti dirisaukan lagi.
Namun semuanya hanya pikiran naifku. Si bodoh ini telah tertipu omongan pria bermuka seribu itu. Pada akhirnya dia menyerah dan meninggalkan ku begitu saja demi wanita lain yang langsung direstui Ibunya. Menjalin hubungan baru sebelum memutuskan hubungannya denganku. Kemudia menyebarkan rumor bahwa aku berselingkuh darinya dan memutuskanku secara sepihak karena Ibunya tidak suka aku.
Pria itu membuka topengnya diakhir. Menunjukkan taring kebusukannya, dan membiarkan aku berdarah-darah menanggung malu dan kesedihan sedirian. Digunjing orang sebagai, wanita yang ditinggal nikah dan tidak disukai keluarga. Sungguh ironi.
Kamu pasti bertanya-tanya, mengapa Ibunya tidak suka? Atau memang aku yang bermasalah. Jawabannya adalah, kami berbeda suku. Mungkin sepele bagi sebagian orang, namun bagi suku Rio, tabu untuk menikahi keturunan dari suku ku. Dan si cewek baru ini tentu saja berasal dari suku yang sama. Cantik, muda, multitalenta dan sesuku. Maka, untuk apa dia mempertahankanku?
Maka terbuang sudahlah tahun-tahun yang kami habiskan itu. Kalimat-kalimatnyapun telah terlupakan begitu saja hanya dengan sekali hembusan angin. Dan aku, siapa peduli. Aku membalut luka-luka itu sendirian.
Mereka menikah, kemudian punya anak dengan cepat. Membina biduk rumah tangga yang bahagia tanpa rasa bersalah, karir yang melesat, mobil baru yang selalu kami impikan dulu, dan segala hal hebat yang kemudian dicapainya. Rupanya hanya aku yang digeluti kesialan.
Dua tahun kemudian, dijalan kompleks pertokoan yang ramai pengunjung. Kami bertemu. Pria brengsek yang pernah membuatku mabuk kepayang itu, tampak sehat dan bahagia. Disisinya berdiri wanita itu, cantik dan segar.
Aku mematung sejenak. Melirik pantulanku di kaca etalase toko. Melirik diriku yang sudah jauh berbeda dengan dua tahun lalu.
Aku memang belum menikah, dan masih bekerja dengan susah payah di sebuah perusahaan bergaji kecil. Namun ada satu hal besar yang terjadi, aku dan pacarku Fahri sedang menabung untuk pernikahan kami. Merencanakan pernikahan impian kami diakhir tahun ini. Dan kamu harus tahu, Ibunya setuju untuk memberi restu.
Aku menatap dua sosok itu dengan berani. Melihat betapa bahagianya tawa yang terpancar di wajah-wajah itu. Tampa beban dan bebas.
Jika ini terjadi dua tahun yang lalu, maka aku akan bersembunyi dan menangis di sudut yang gelap. Menyaksikan hanya aku yang nelangsa. Namun, sekarang aku adalah aku yang baru.
Tidak perduli seberapa beruntung mereka, namun aku memiliki hidup yang membahagiakan sekarang. Tidak perduli seberapa tersiksanya aku di tahun pertama perpisahan kami, kini aku menganggapnya telah berlalu dan selesai.
Aku melangkah mantap. Menuju arah berlawanan dari mereka. Masih sempat ku tangkap pandangan kaget Rio dan wanita itu. Seperti melihat mayat hidup. Tapi aku pura-pura tidak melihat dan berlalu santai.
Ya, seperti inilah seharusnya kami. Seperti orang-orang yang hanya berpapasan dijalan. Seperti angin lalu yang menerpa ujung gaunmu dengan lembut. Maka, lupakan saja.
Persetan dengan seluruh kisah yang pernah terjadi di dalam hidup kami. Lagi pula, itu sudah jauh terlewat.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Setia itu, Mitos!
Short StorySetia itu 'katanya' adalah ketika kita mampu menjaga hati dan fikiran untuk tidak tertarik dan memulai hubungan lain dengan orang lain. Namun, seberapa banyak yang mampu melakukannya? Beberapa pria menghabiskan waktumu dengan mengaku si paling setia...