Perfect Husband, Perfect Life.

13 2 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.....

Katanya cinta itu bisa usang. Seiring dengan waktu yang terus berputar, maka perasaan manusia, sedikit demi sedikit pula akan tergerus habis. Apalagi dalam pernikahan.

Aku mestinya harus mengucap syukur berulang kali, kehidupanku sempurna.

Suamiku, si gila kerja dan religius, sangat baik dan perhatin padaku. Meskipun sering lembur hingga larut, namun dia tidak pernah sedikitpun lupa untuk mengabariku.

Aku maklum jika suamiku sibuk, dia baru saja naik jabatan menjadi kepala bagian di perusahaannya. Yang membuatnya memiliki lebih banyak tanggung jawab lagi, dan aku bangga dengan pencapaianya.

Suamiku bekerja untukku dan ketiga buah hati kami, Ray yang sudah bersekolah di sekolah menengah pertama, Rey yang masih SD, dan Naya, dia masih balita.

Aku sendiri berkerja di kota seberang, sebagai dokter umum. Jarak dari rumah ke kota tempatku bekerja itu berkisar satu jam lebih. Lelah memang harus menyetir sendirian setiap hari. Namun, aku menikmatinya. Aku suka menjadi mandiri, dan menjalani profesi yang sangat aku cintai.

Bukan. Bukan karena uang bulanan dari suamiku kurang. Gajinya besar dan sangat mencukupi kami. Terlalu cukup malah. Bahkan si abang Ray dihadiahkan motor gede oleh Ayahnya pada ulang tahunnya kemarin. Itu salah memang, namun Abang belum diberikan kuncinya. Simbolis saja. Karena suamiku memang penggila MoGe.

Apa pembahasan kita tadi? Ah, rasa cinta. Ya, suamiku masih romantis.

Sepanjang usia pernikahan kami yang menginjak tahun ke 15, dia tidak pernah memanggilku dengan namaku, selalu dengan kaliman manis, seperti "honey", "Mamah", "Sayangku", atau kadang-kadang jika sedang bermesraan dia menyebutku si "seksi".

Aku beruntung. Itu yang selalu ku syukuri. Meskipun Ayahku tidak disini lagi untuk menyaksikan anaknya, Rasti ini, memiliki keluarga harmonis dan bahagia dengan Mas Syafri, pria yang direstuinya dulu. Sebelum akhirnya setahun setelah pernikahan, tepat sebelum Abang Ray lahir, Ayah pulang pada sang pencipta. Ayahku yang baik dan tangguh. Ah, mataku selalu basah mengingatnya.

Namun, meski tanpa Ayah disini, seperti kata Ibuku, aku memiliki terlalu banyak kebahagiaan untuk disyukuri dan jangan terlalu bersedih akan kepergian Ayah. Lagi pula, siapa tahu Ayah sedang bahagia disana?

Balik lagi ke percakapan aku dan kamu.

Mungkin kamu bertanya-tanya, apakah aku tidak pernah curiga pada suamiku? Jawabanku adalah tidak. Aku sangat amat percaya padanya. Dan dia belum pernah menunjukkan gelagat aneh yang mesti membuatku curiga. Lalu untuk apa aku mencurigai lelaki baik itu?

Kamu mungkin mulai mencibir, mengatakan aku naif atau telah dikibulin suami. Namun coba kita telaah bersama, bagaimana bisa kamu mampu menuduh seorang suami yang selalu pulang teng saat jam kerja berakhir dan selalu vidio call denganku dan anak-anak jika harus lembur hingga larut. Dan beliau tidak memasang password pada aplikasi WhatsApp-nya.

Setia itu, Mitos!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang