Jingga manis punya gue.
Alamat?
Hah
Alamat rumah lo, dimana?
Buat apaan dah, mau maling lo?
Ngawur.
Ngedate lah, mumpung malming, gue jemput, biar romantis.Geli
Ahelah, buruan ayo.
Ortu gue gak bakal ngebolehin, Langit.
Gue yang minta izin.
Jangan gila.
Mana alamatnya?
Langit...
Oke, gue tanya Marvel.
Anjing.
Langit??
Jangan nekat goblok!!
Jingga menghela nafas keras, handphonenya ia lemparkan dengan asal ke kasur dan beranjak mondar mandir di kamarnya sembari mangacak acak rambutnya.
Langit memang keras kepala, sulit sekali menghentikan sifat nekatnya itu.
Keadaan rumah saat ini sedang cukup tenang, Jingga merasa sedikit lega karena itu. Tetapi bukan berarti Jingga bisa tenang juga jika nanti Langit benar benar datang ke rumahnya.
Sekitar 10 menit Jingga masih mondar mandir di kamarnya, berkali kali mengecek ke arah luar dari jendela kamarnya, berusaha menelepon Langit, lalu kembali berjalan kesana kemari memikirkan apa yang harus ia lakukan.
"Ngapain kamu mondar mandir terus? Suara langkah kakimu berisik." Jingga terperanjat dari lamunannya saat mendapati seseorang telah berdiri menatapnya tajam di ambang pintu kamarnya.
"Maaf, ma."
"Kenapa tidak belajar?"
"Ah, itu... ini Jingga mau-"
Suara motor terdengar berhenti tepat di depan rumahnya, Jingga menghentikan ucapannya dan buru buru menuju jendela untuk melihat siapa yang datang.
"Ada orang? Siapa yang malam malam begini bertamu."
"Mama, tunggu! Biar Jingga aja yang buka."
Wanita yang dipanggil mama oleh Jingga mengernyit dan menatap anaknya heran, diam diam ia mengikuti langkah Jingga menuju pintu depan.
"Oh wow, gue belum ketuk pintu tuh? Udah siap?" Ujar Langit jenaka.
"Langit, mending lo balik aja deh. Maaf, gue minta maaf, lo pulang aja ya?"
Langit tentu saja bingung, padahal ia hanya datang dan berdiri di depan rumahnya tapi mengapa Jingga sebegitu paniknya hingga wajahnya pucat pasi.
"Jingga? Lo kenapa?" Jingga menggeleng kuat, ia berusaha menarik lengan Langit menjauh dari pintu rumahnnya.
"Jingga, siapa itu?"
Suara dari arah belakangnya mampu menghentikan kegiatan Jingga yang masih menarik Langit. Mendadak tubuhnya menegang, tanpa sadar cengkramannya pada baju Langit semakin mengerat.
"Ma.. mama-"
"Ah halo, selamat malam tante. Maaf sebelumnya perkenalkan nama saya Langit, pac- ah maksud saya teman sekolah Jingga." Langit berkata dengan sangat tenang, bahkan ia menghampiri mama Jingga dan menyalami tangannya dengan sopan.
Sementara Jingga masih mematung di belakangnya.
"Ada urusan apa kesini?"
Langit sedikit menegakkan tubuhnya, seujujurnya ia sangat gugup saat ini. Apalagi saat mendengar suara tegas milik mama Jingga, rasanya kakinya berubah seperti jelly. Namun demi Jingga, Langit harus bisa menghadapi semua itu.
"Maaf tante, saya mau minta izin buat ngajak Jingga keluar-"
"Tidak."
Langit sedikit gelagapan saat mama Jingga tiba tiba memotong ucapannya, tapi tak menyerah semudah itu.
"Tapi, tante, saya jarang sekali bisa melihat Jingga bermain dengan temannya, padahal Jingga pasti juga ingin bermain, tante tidak kasihan dengan Jingga?"
Jingga melebarkan matanya, Langit terlalu nekat. "Langit, udah, ayo pergi."
"Saya tidak peduli dengan itu. Jingga saya sekolahkan untuk belajar dan mendapat prestasi, bukan untuk bermain dengan anak sepertimu. Jingga, cepat masuk kedalam."
Jingga lemas, tangannya gemetar, dan Langit sadar akan hal itu. Namun ia memilih untuk bungkam.
"Sudah tidak ada urusan lagi kan? Silahkan pulang." Ucap sang mama lalu berbalik badan, bersamaan dengan Jingga yang menatap Langit dengan perasaan bersalah.
"Tante."
Mama Jingga menghentikan langkahnya saat Langit kembali memanggilnya. Ia membalikkan badan dan menatap Langit dengan tajam.
"Tante, saya bukan anak nakal kok. Saya bisa dibilang cukup pintar karena selalu mendapat peringkat 3 besar di kelas. Saya anak osis, dan saya cukup aktif dalam mengikuti banyak kegiatan olimpiade."
"Jadi?"
Langit tersenyum, triknya sepertinya akan berhasil.
"Jika tante mengizinkan Jingga keluar dengan saya malam ini, kedepannya saya akan membantu Jingga agar bisa mendapat peringkat 1 dan membawa banyak piala ke rumah tante."
Jingga melotot, apa apaan, kenapa malah jadi Jingga yang kena imbasnya. "Langit?" Ia buru buru menghampiri Langit dan mencengkram lengannya dengan kuat, kepalanya menggeleng kecil, tatapannya mengisyaratkan bahwa Langit harus segera pergi dari rumahnya.
Namun Langit tetap tenang, ia tersenyum dan mengusap tangan Jingga untuk meyakinkannya.
"Kamu bisa pegang kata katamu?"
"Tentu saja, bukan hal yang sulit untuk membantu Jingga belajar."
Mama Jingga terdiam sejenak, ia menatap mata Langit dengan lekat, berusaha mencari kebohongan disana. Namun nihil, anak itu bersungguh sungguh dengan ucapannya.
"Baiklah, Jangan pulang melebihi jam 10 malam."
Langit melebarkan senyumnya, ia mengangguk dengan pasti dan mengucapkan terimakasih beberapa kali pada mama Jingga hingga wanita itu menghilang dari balik pintu.
Dan Jingga masih mematung, menatap Langit dengan tatapan tak percaya. "Kenapa ngeliatin gue kaya gitu?"
Jingga tak menjawab, ia menendang kaki Langit dengan kencang hingga membuatnya terduduk di tanah dan mengaduh kesakitan.
"Tunggu sini, gue mau ambil jaket."
Langit masih meringis, mengusap kaki kanannya yang terasa ngilu karena tendangan dari Jingga yang tak main main. "Sshh, gausah dandan ya, lo udah manis kok."
"Bacot."
Langit tertawa saat melihat muka masam Jingga, ya.. setidaknya ia berhasil melakukan misi nekatnya malam ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit dan Sinar Jingganya [Hajeongwoo]
Jugendliteratur𝑾𝒉𝒆𝒏 𝑳𝒂𝒏𝒈𝒊𝒕 𝒇𝒂𝒍𝒍 𝒇𝒊𝒓𝒔𝒕 𝒃𝒖𝒕 𝑱𝒊𝒏𝒈𝒈𝒂 𝒇𝒆𝒍𝒍 𝒉𝒂𝒓𝒅𝒆𝒓 Hajeongwoo area [Bxb, lokal, harsh word, angst] Start: 06-07-2022 End: 30-07-2022