I'm here for you.

241 39 0
                                    

"Emang harus banget gue ceritain?"

"Harus. Soalnya lo udah bilang mau cerita."

"Iya deh.. Hmm gue mulai dari mana ya.."

"Ekhem, udah selesai pacarannya? Mana peluk pelukan gatau tempat lagi."

Kedua makhluk adam yang tengah duduk berhadapan di dalam uks serempak menoleh ke arah pintu. Disana Dipta berdiri dengan senyum manisnya.

Cukup menyeramkan.

"Kak Dipta-"

"Udah selesai belum? Gue mau bawa Langitnya nih."

Jingga menatap Langit dengan khawatir, ia paham pasti setelah ini Langit akan diberi hukuman yang berat oleh Dipta. Namun Langit membalas dengan tersenyum, lalu mengusap kepala Jingga lembut untuk meyakinkan.

"Gue pinjem dulu ya Langit lo, nanti gue balikin kok." Ucap Dipta semangat. Tak tahu saja bahwa kini Jingga mulai gusar memikirkan hukuman macam apa yang akan diberikan oleh Dipta.

Setelah Langit dan Dipta pergi dari sana, Jingga mulai berbenah. Ia membereskan semua peralatan untuk mengobati Langit tadi dan membuang sampah sampah yang berserakan.

Tinggal tersisa bekas tisu yang mungkin tadi terbang terbawa angin dan berada di lantai sebelah rak, Jingga hendak memungutnya, namun pergerakannya terhenti kala sepasang sepatu tepat berada di hadapannya.

Ia mendongak untuk melihat siapa pemilik sepatu itu. "Marv? Ngapain?"

Marvel disana, berdiri tegak dengan muka masamnya dan alis yang menukik tajam. "Duduk, gue mau ngomong sama lo."

Jingga menghela nafasnya, ia kira sudah selesai, tapi ternyata masalahnya masih banyak yang mengantri untuk diselesaikan. Salah satunya berhadapan dengan Marvel, apalagi anak itu kini terlihat tengah menahan rasa kesalnya.

Jingga mendudukkan dirinya pada kursi yang sudah ditata oleh Marvel agar posisi mereka berhadap hadapan. "Jelasin." ujarnya tegas.

"Apa?"

"Lo pacaran sama Langit, kan? Kenapa lo gak ngomong apapun sama gue?"

"Marv, sorry... Gue cuma belum siap kalo lo-"

Tiba tiba Marvel memotong ucapan Jingga. "Apa? Kalo apa? Kalo gue bakal jauhin lo? Atau gue bakal benci lo sampe ngehasut satu sekolahan biar ikut benci sama lo? Gitu?"

"Marvel, tenang dulu."

"Gimana gue bisa tenang, Jingga. Lo bikin gue kesel, tapi gue lebih kesel sama si Dio bajingan itu. Arghh bangsat!" Nafas Marvel terengah engah, wajahnya semakin memerah karena menahan amarah.

"Hei Marv, calm down.." Ucap Jingga lembut, ia mengusap usap bahu Marvel agar si empunya merasa sedikit tenang. Namun yang didapatinya malah Marvel yang kini matanya berkaca kaca dan bibir melengkung kebawah, untuk menahan tangisnya.

"Jingga, orang orang di luar sana ngomongin lo, mereka ngejelek jelekin lo, bahkan sampe ngecaci maki ngatain lo yang engga engga. Jingga, nanti lo gimana? Gue takut lo kenapa kenapa, gue ga bisa kalo lo dijahatin sama mereka. Gue gak sanggup buat denger semua caci maki itu, Jingga." Air mata Marvel berhasil lolos, kini ia menangis tersedu sedu, sembari menutupi wajahnya.

Jingga masih terdiam, ia berusaha mencerna perkataan Marvel barusan. "Lo- lo gak jijik sama gue?"

Marvel mendongak, menatap Jingga masih dengan air mata yang bercucuran lalu tiba tiba menubruk tubuh bongsor Jingga untuk ia peluk dengan erat. "Goblok, buat apa gue jijik sama lo, bego. Lo bego banget, anjing. Gue kesel sama lo."

Beberapa kali Marvel memukul pundak lebar Jingga sembari terus mengumpati Jingga. Jingga mengaduh kesakitan tapi tetap membiarkan tubuhnya dijadikan samsak oleh Marvel.

"Aduh, sakit Marv, udah dong."

Marvel kembali menegakkan tubuhnya dan mengusap kasar wajahnya yang semakin memerah. "Marv, sorry."

"Apa? Buat apa? Lo kenapa selalu-"

"And thank you. Marv, makasih."

Marvel luluh, ia mulai tenang kembali dan tangisannya berhenti. "Mulai sekarang kalo ada apa apa cerita sama gue. Kalo ada yang jahatin lo bilang sama gue, kalo ada yang gangguin lo bilang, nanti gue tebas lehernya, terus gue jual organ organnya."

"Itu mah lo mencari kesempatan dalam kesempitan."

"Jelas lah, yakali langsung gue sia siain semuanya padahal organnya bisa menghasilkan duit."

"Dasar mata duitan.

-bagi dua hasilnya sabi lah."

"Yee goblok." Keduanya tertawa bersama, meluapkan rasa bahagianya karena candaan konyol masing masing sebelum nanti harus berhadapan dengan dunia realita yang kejam.

Sejujurnya Jingga pun tak siap, ia selalu takut dengan suara suara mereka yang selalu memenuhi isi kepalanya sepanjang malam. Jingga masih belum siap untuk bersikap acuh dikala mereka terus terusan mencaci maki dirinya. Tidak, Jingga belum siap.

"Marv, gue belom siap."

Marvel meraih kedua tangan Jingga lalu menggenggam nya erat. "Gue ada di sini, lo masih punya Langit sama gue. Jangan takut, ya?"

"Gue... Bisa?"

"Iya, lo bisa. Gue yakin lo pasti bisa."

Jingga memejamkan matanya erat, ia harus bisa meyakinkan hatinya dan perasaannya. Dan perkataan dari Marvel tadi cukup mampu membuatnya merasa percaya kembali.

Semesta, tolong bantu Jingga juga, ya?

.....

Langit dan Sinar Jingganya [Hajeongwoo]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang