.
.
.Drap.. Drap... Drap...
Langkah kaki menggunakan sepatu semakin terdengar di telinganya. Awalnya hanya samar samar, namun kini bisa ia dengar secara jelas seseorang itu menuju ke arahnya.
Berusaha tak peduli, lelaki bertubuh tinggi yang sedang duduk di tepi rooftop itu kembali memejamkan matanya, menikmati hembusan angin sore yang cerah di hari ini.
"Ngapain disini?"
Tak ada jawaban ataupun sahutan, lelaki di hadapannya masih tetap bungkam.
"Udah sore, Jingga. Gue cari lo kemana mana."
Lantas, si lelaki yang di sebut Jingga menolehkan kepalanya kebelakang dan menunjukkan senyum manisnya.
Sudah, hanya itu saja. Mungkin ia memang tak ingin untuk menyahuti perkataan orang di belakangnya.
"Kenapa tiba tiba kesini? Ada masalah?"
"Mau cari angin aja." Akhirnya, lelaki itu mau membuka suara.
"Lo sendiri? Ngapain cari gue, Langit?" Kini Jingga yang balas bertanya.
Langit tersenyum, senyumnya mengisyaratkan ia jenuh dan lelah. Setelahnya ia ikut bergabung duduk di samping Jingga dan mengikuti kegiatan Jingga sebelumnya.
Memejamkan mata dan menikmati hembusan angin yang menerpa kulitnya.
Bukan suatu hal yang buruk ternyata.
"Gue khawatir, Jingga."
"Kenapa memangnya?"
"Takut lo kenapa kenapa, dan gue gak ada disana buat ngelindungin lo." Jawab Langit.
Jingga terkekeh mendengar jawaban dari Langit. Ia tak pernah menyangka Langit, kekasihnya, akan mengatakan itu padanya.
"Gue nggak selemah itu kali, gue juga bisa bela diri."
"Gue tau, tapi bukan itu maksud gue."
"Terus?"
Langit tak menjawab, hanya menatap lurus gedung gedung yang menjulang tinggi jauh di depannya.
"Langit–"
"Lo rapuh, gue takut sewaktu waktu lo hancur sebelum gue bisa ngelindungin lo."
Jingga bungkam, menatap Langit tak percaya lalu sedetik kemudian malah tertawa kencang.
"Omongan lo jelek, Langit. Balik aja sana."
"Itu tujuannya."
Jingga mengernyitkan alisnya, tak mengerti. Langit menolehkan kepalanya menjadi menatap Jingga.
Kini mata keduanya bertemu, menatap satu sama lain dengan pandangan yang berbeda.
"Nangis, Jingga. Jangan ditahan, dada lo semakin sesek kalo gitu."
Bak panah tajam yang tiba tiba menancap di hatinya, Jingga tersadarkan oleh realita.
"Berhenti bohong sama dunia, berhenti bohongin diri lo sendiri.
Jingga, gue mohon, lo boleh jadi lemah, seenggaknya di depan gue."
"Apa sih? Lo aneh banget." Ucap Jingga ketus.
Namun Langit tau, dibalik ketusnya ucapan Jingga, ada mata yang telah berkaca kaca berusaha menahan bendungan air mata.
Langit pun rasanya tak ingin melanjutkan kata kata yang telah ia siapkan sejak siang tadi.
Tangannya bergerak menarik tubuh Jingga mendekat padanya, lalu merelakan bahunya dijadikan sandaran kepala Jingga untuk menjadi lemah sejenak.
Dan Jingga menurut, menyandarkan kepalanya yang terasa berat karena suara suara berisik bak kaset rusak yang terus berputar tak kenal henti.
Di bawah langit sore hari itu, dua insan yang tengah menunjukkan lemahnya saling bergandeng tangan, erat, tak ingin melepas.
Karena lemahnya telah ditampakkan, maka kuatnya juga harus dibagi rata.
"Gue cuma lagi bertanya tanya, tentang isi kepala gue yang berisik dan gak mau berhenti.
Gue cuma mengutarakan apa yang mereka mau, tapi tetep aja semua terasa gak sesuai.
Gue gak ngerti, Langit. Gue cuma mau hidup."
Nada frustasinya menguap, perlahan si pemilik tatapan serigala dengan senyum manisnya itu meneteskan air mata, bingung dengan isi hati dan pikirannya yang tak sejalan.
"Bingungnya lo, kadang engga harus di mengerti, Jingga.
Kadang, lo cuma harus membiarkan semuanya berjalan sesuai alur tanpa harus berusaha menjadi sempurna.
Dan nanti lo bakal ketemu ujung jalan dimana lo bisa lihat kebelakang, dan bilang sama diri lo 'ternyata gue bisa ngelewatin ini semua'."
Jingga mengangguk mengerti. Kini air matanya tak ditahan lagi, ia biarkan jatuh membasahi bahu Langit.
"Sometimes, gue merasa hilang arah. Entah apa tujuannya, entah kemana ingin melangkah nya.
Ujungnya, gue cuma mau lari, mau pergi ke tempat yang jauh dan mau menghilang dari dunia."
Langit tersenyum mengerti, tangan kanannya yang kosong terangkat guna menghapus air mata Jingga yang masih berjatuhan di pipinya.
"Lo bisa pulang ke rumah, Jingga."
Isakan Jingga masih terdengar jelas di telinganya. Dengan suara bergetarnya ia berkata.
"Gue gak punya rumah, Langit."
"Punya, lo punya."
Jingga mengangkat kepalanya, sementara Langit menangkup kedua pipinya, menatapnya meyakinkan.
"Lo punya rumah, gue akan selalu jadi rumah lo, Jingga."
Lantas, tangis Jingga pecah begitu saja. Terdengar memilukan namun melegakan disaat bersamaan.
Karena sebenarnya, Jingga hanya ingin meluapkan sesaknya yang telah lama tertahan.
Dan ia memiliki Langit, rumahnya yang akan selalu ada untuk menutupi sisi rapuhnya dari dunia.
Hiiii i'm back!
Aku cuma lagi gabut aja, tiba tiba malah bikin cerita ini.Don't forget to vote & comment nya yaww<3
Bai baiiii(≧▽≦)♡
![](https://img.wattpad.com/cover/315101652-288-k44785.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit dan Sinar Jingganya [Hajeongwoo]
Teen Fiction𝑾𝒉𝒆𝒏 𝑳𝒂𝒏𝒈𝒊𝒕 𝒇𝒂𝒍𝒍 𝒇𝒊𝒓𝒔𝒕 𝒃𝒖𝒕 𝑱𝒊𝒏𝒈𝒈𝒂 𝒇𝒆𝒍𝒍 𝒉𝒂𝒓𝒅𝒆𝒓 Hajeongwoo area [Bxb, lokal, harsh word, angst] Start: 06-07-2022 End: 30-07-2022