Evakuasi.

250 38 0
                                    



Satu bulan terlewati. Langit dan Jingga telah sepakat untuk menutupi hubungan keduanya, mereka mencari cara aman dengan saling menjauh satu sama lain agar orang orang menganggap mereka sudah tak memiliki hubungan lagi.

Pengecualian untuk Marvel dan Dipta. Merekalah pelindung pertama Langit dan Jingga saat keduanya harus menghadapi kejamnya dunia.

Namun tetap saja hal itu tak selalu berjalan mulus. Ada kalanya orang orang mendapatkan celah untuk menganggu Jingga.

Dan mereka tak senekat itu untuk menganggu Langit, karena Dipta dan anak osis lainnya selalu ada disekitar Langit. Sulit mencari celah.

Sementara Marvel sedikit kewalahan, karena Jingga terlampau pasrah dengan keadaan. Ia tak protes saat tulisan kebencian dan caci maki memenuhi mejanya, tak melawan saat bola basket selalu mengenai kepalanya saat ia lewat di sekitar lapangan, tak mempedulikan baju seragamnya yang basah akibat ada yang dengan sengaja menumpahkan makanan atau minumannya, dan bahkan ia tetap diam saat di rundung oleh anak anak berandalan sekolahnya.

Namun hari ini adalah puncak yang paling parah, seorang guru tiba tiba menyeret Jingga ke tengah tengah lapangan utama dengan paksa hanya karena Jingga merasa pusing dan menundukkan kepalanya sebentar saat jam pelajaran nya.

Dengan kejinya ia mendorong Jingga kasar hingga terjatuh ke tanah lalu menyiram Jingga dengan seember air bekas pel pelan, ia juga memaki maki Jingga dihadapan banyak orang, namun lagi lagi Jingga tetap diam meskipun harga dirinya telah dijatuhkan.

Langit melihatnya, tentu saja ia tak bisa untuk tetap tinggal diam. Dengan nekat ia maju menghampiri Jingga yang berada di tengah tengah lapangan dan memberikan jaketnya pada Jingga, orang orang menyoraki mereka. Tapi Langit tak peduli.

"Kan bener masih pacaran! Huu dasar homo!"

"Ih beneran masih? Anjing, jijik banget gue."

"Dasar homo! lo tuh gak pantes buat hidup disini!"

"Kayak sampah ewh, menjijikan."

Berisik, sorakan makian dari mereka terus terdengar hingga memenuhi penjuru sekolah. Kepala Jingga sakit.

Langit peka, ia segera mendekap Jingga dengan erat dan membisikkan kata kata menenangkan. Namun bukannya memperbaiki keadaan, Langit justru membuat orang orang semakin keras menyoraki mereka, bahkan siswa dari lantai dua mulai melemparkan sampah sampah pada Langit dan Jingga.

Marvel turun tangan, dengan berani ia melindungi tubuh Langit dan Jingga. Berteriak sekencang mungkin, meminta agar orang orang berhenti melempari mereka dengan sampah, namun percuma keadaan tetap ricuh dan semakin buruk.

Hingga akhirnya, Dipta, sang ketua osis ikut turun ke lapangan, dengan beberapa anak osis yang memang sejak awal tak mempermasalahkan hubungan antara Langit dan Jingga.

"Berhenti semua!" Suara Dipta terdengar lantang, membuat semua orang menghentikan kegiatannya serempak. Dipta memang sangat disegani oleh warga sekolah, itulah mengapa saat Dipta sudah memerintah tak ada yang berani untuk memberontak kecuali jika siap untuk berurusan lebih jauh dengan Dipta.

"Langit, bawa Jingga pergi. Janu udah nunggu di gerbang."

"Makasih, kak." Segera setelah itu Langit membawa Jingga pergi dari lapangan utama. Keadaan mulai ricuh kembali, banyak yang tak terima karena sang ketua osis justru membela Langit dan Jingga.

"Bubar. Semuanya bubar, masuk kelas masing masing sebelum nama kalian saya catat satu satu di buku hitam."

"Marv, lo ikut gue." lanjutnya. Orang orang mulai bubar dari sana setelah Dipta menyebutkan buku hitam, namun cibiran cibiran masih bisa terdengar jelas di telinga Dipta.

Sementara itu kini Langit telah berhasil membawa Jingga menuju parkiran, ia cukup khawatir karena seragam yang Jingga kenakan basah dan bisa membuatnya sakit.

"Baju lo basah, ke rumah gue aja, ya?"

"Jangan, masih jam sekolah, nanti lo kena marah, Langit." Benar juga, Langit tak terpikir sampai sana.

"Gausah dipikirin, gue gapapa kok."

"Gapapa gimana? Lo basah kuyup gitu, nanti kalo lo demam-"

"Oi langit!" Ucapan Langit terpotong saat tiba tiba seseorang memanggil namanya dari arah belakang.

"Janu? Kenapa?" Janu tak menjawab, ia masih sibuk mengatur nafasnya yang terengah engah.

"Lo Jingga, kan? Nih gue kebetulan ada seragam cadangan di ruang osis, ganti aja di pos satpam. Pak satpamnya lagi di warung depan kok." Ujarnya sembari menyerahkan seragam miliknya pada Jingga.

Jingga menatap Langit ragu, Langit mengangguk kecil. "Gue tunggu disini." Jingga menurut, ia berjalan menuju pos satpam untuk mengganti seragamnya terlebih dahulu.

"Habis ini lo mau kemana?"

"Entah, gue gak bisa balik, masih jam sekolah. Dia juga pasti sama."

"Ke apart gue aja, mau? Disana ada adek gue sih, tapi gapapa lah, dia biasanya-"

"Nu, makasih banyak. Tapi gue gak mau ngerepotin lo lagi."

"Ngerepotin apaan sih, kagak lah santai aja kali."

Langit tersenyum kecil lalu menyandarkan tubuhnya pada tiang listrik dibelakangnya. "Gue tanyain dulu sama Jingga nanti, dia maunya gimana."

Janu mengangguk mengerti. "Oke, terserah lo berdua. Tapi kalo butuh sesuatu chat gue aja. Gue bakal bantu sebisa gue."

"Iya, thanks, Nu."

Janu terkekeh kecil lalu menepuk pundak Langit dua kali. "Semangat bro, semua emang butuh perjuangan, jangan nyerah duluan sama dunia. Jangan sungkan juga buat minta bantuan ke gue atau anak osis yang lain." Langit mengangguk, ia sangat bersyukur karena teman temannya masih bisa menerima Langit apa adanya.

"Dah ya, gue mau balik lagi, udah ditunggu kak Dipta tuh."

"Yo, sekali lagi, makasih, Nu."

Bertepatan setelah Janu pergi, Jingga juga keluar dari pos satpam dengan tampilan yang jauh lebih baik dari sebelumnya. "Temen lo mana? Gue belum bilang makasih sama dia."

"Udah balik anaknya, masih banyak urusan. Yuk"

Jingga menatap Langit bingung. "Kemana?"

"Nanti juga tau kok."

Langit segera berjalan menuju motornya, kebetulan sekali beberapa hari yang lalu Jingga lupa meninggalkan helmnya di parkiran sekolah, jadi Langit tak perlu meminjam helm temannya untuk dipakai Jingga.

"Pegangan dong, nanti kalo lo terbang kebawa angin gimana?"

"Lo pikir gue kertas?" Langit sedikit tertawa mendengar jawaban Jingga. Dengan sengaja ia menarik tangan Jingga agar memeluk perutnya. Tak disangka Jingga menurut lagi, ia tak memberontak atau memberikan protes seperti biasanya.

"Siap?"

"Lama lo ah, gue aja yang nyetir sini."

"Iya iya bercanda. Oke kita berangkat sekarang!" Jingga menggeleng kecil melihat tingkah Langit yang tak tau malu karena tiba tiba berseru dengan keras.

Langit mulai menjalankan motornya, meninggalkan sekolahnya dengan hati yang sedikit lega.

Setidaknya, untuk sementara.



TBC.

Langit dan Sinar Jingganya [Hajeongwoo]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang