Jingga tak pernah menyangka jika Langit akan senekat itu membawanya menuju pantai yang mana jaraknya cukup jauh dari rumah mereka berdua karena membutuhkan waktu 3 jam dalam perjalanan.
Dan sekarang disinilah mereka. Duduk bersama di tepi pantai dengan angin menerpa wajah kusut mereka. Untungnya Langit cukup pintar untuk memilih daerah yang sepi agar tak ada yang mengganggu kegiaan mereka.
"Wah, udah lama gue nggak kesini." Jingga mendongakkan kepalanya, telihat sangat menikmati suara ombak yang menyapa telinganya dan membuatnya tenang. Air selalu dapat membuatnya tenang.
Langit menyusul berdiri tepat di sebelah Jingga. "Teriak coba. Keluarin semua yang udah lo tahan selama ini."
Jingga tiba tiba tertawa keras. "Apa yang gue tahan? kentut? ahahahaha."
"Jingga, gue serius. Lo pikir gue gatau kalo selama ini lo selalu di ganggu sama mereka dan lo cuma diem aja? Gue selalu tau, Jingga."
Jingga menghentikan tawanya, lalu tersenyum. Senyum manis yang tak pernah Langit harapkan untuk muncul di saat pedih seperti ini. Jingga terlalu memaksa untuk terlihat tegar walau hatinya telah hancur berkeping keping.
"Gue sayang lo. Gue cinta lo, Langit."
Perkataan Jingga barusan malah membuat hati Langit semakin tergores, perih. Andai saat itu Langit memilih diam dan tak mengutarakan perasaannya pada Jingga, mungkin keadaan tak akan menjadi serumit ini.
"Jingga maaf... Kalo seandainya gue bisa ngulang waktu, gue bakal lakuin itu, biar lo gak usah ngerasa semenderita ini."
"Gue gak menderita, Langit."
"Berhenti bohong, Jingga! Ayo bilang sama gue kalo lo muak, caci maki gue, salahin gue karena bikin lo jadi kaya gini. Ayo cepet pukul gue sekalian, Jingga." Langit berteriak keras, ia mencengkram kedua bahu Jingga dengan erat.
Langit frustasi, ia mulai putus asa. Namun alih alih menuruti perintah Langit, Jingga justru menarik tangan Langit, menggenggamnya dengan erat. Usapan kecil dari Jingga pada kedua tangannya sangat ampuh untuk menenangkannya.
"Langit, kalau seandainya hari itu gue gak ngomel sama Marv di parkiran gue pasti gak bakal kenal sama lo. Dan.. hari dimana gue kepergok ngerokok sama lo bakal jadi hari terakhir gue buat ngeliat dunia.
Langit, hari itu gue babak belur karena malemnya gue dipukulin orang tua gue. Mereka bilang langsung di hadapan gue kalo mereka gak pernah ngeharepin gue buat ada di dunia. Katanya sih gue gak berguna." Jingga menjeda ceritanya dengan terkekeh pelan.
"Pas itu gue buntu, gue udah pasrah. Di pikiran gue ya cuma ada kata nyerah. Hari itu gue berangkat sekolah niatnya cuma mau pamitan sama Marvel sahabat gue, Ibu kantin penjual batagor favorite gue, Bu Widiya wali kelas gue yang paling baik, Kak Dipta yang sering tiba tiba muncul buat bantuin gue kalo gue lagi kesusahan, dan..."
Jingga terdiam sebentar, ia mengangkat kepalanya dan menatap Langit dengan lekat.
"Dan lo, orang yang bikin gue tau gimana rasanya jatuh cinta. Sebelumnya gue gak pernah nyangka kalo Tuhan bakal ngirim orang baik buat ngasih tau gue kalo nyerah bukan satu satunya jalan, dan ternyata orang itu lo, Langit."
Langit memalingkan wajahnya, ia tak sanggup lagi untuk menahan air matanya yang sudah terus menerus memaksa agar terjun dari kelopak matanya. Isakan kecil mulai terdengar dari Langit, Jingga sedikit tertawa saat melihatnya.
"Dih dih nangis, kaya cewek aja lo."
"Cowok juga boleh nangis!"
Jingga semakin tertawa kencang saat suara parau Langit malah terdengar seperti anak kecil yang sedang merengek pada ibunya.
"Iya, maaf deh. Udahan dong nangisnya, lo jadi tambah jelek tuh."
"Bangsat."
Bukannya emosi Jingga malah tertawa kencang lagi, ia bahkan terduduk dan berguling di pasir sembari memegangi perutnya yang sakit akibat terlalu banyak tertawa.
Setelah sesi tertawa panjang itu selesai, akhirnya Jingga memilih untuk membiarkan dirinya rebahan di atas pasir pantai yang lembut. Langit pun turut merebahkan dirinya di sebelah Jingga.
"Yah, mendung." Benar, padahal sebelumnya cuaca terlihat cerah, tapi tiba tiba dari arah timur awan hitam mulai mendekat, membuat langit menjadi mendung.
"Mau pulang?" Tanya Langit sembari menerawang awan yang terlihat semakin mendekat pada keduanya.
Jingga menggeleng. "Mau kabur aja."
"Mau kabur kemana emang?"
"Ke atas."
Sontak Langit menolehkan kepalanya pada Jingga. "Kalo ngomong yang bener."
"Bener kok, orang di atas sana ada villa buat nginep." Ujarnya sembari menunjuk ke arah kirinya. Lantas Langit bisa bernafas dengan lega. Ia segera bangkit dari posisi rebahannya dan tiba tiba menggelitiki perut Jingga.
"Heh eh apa apaan? Ahahaha geli, Langit! geli, aduh haahah"
"Rasain, makannya kalo ngomong tuh jangan setengah setengah, gue kan jadi salah paham."
Langit menghentikan kegiatannya, membiarkan Jingga yang juga ikut duduk dan menatapnya dengan sinis. "Salah paham apaan, orang gue ngomong bener kok."
"Iya deh, iya. Jadi, mau kesana nggak? Bentar lagi kayaknya mau hujan."
Wajah Jingga mendadak sumringah, ia bahkan mengangkat tangannya dengan semangat. "Ayo! Gue kenal sama salah satu pemiliknya, siapa tau nanti dapet bonus potongan harga."
Langit terkekeh kecil saat melihat Jingga yang begitu bersemangat menunjukkan arah jalan dan pemandangan indah yang akan dilihat karena mereka akan melewati tebing dan dapat melihat benturan ombak dengan karang dan bebatuan dari atas.
Jingga tiba tiba berlari lalu meninggalkan Langit yang masih membersihkan seragamnya dari pasir pantai yang menempel.
"Hahahha lo lama! gue tinggal aja lah, dadahh." Ucap Jingga meledek Langit dan menunjukkan kunci motor milik Langit yang tiba tiba ada di tangan Jingga.
"Heh! kok lo pegang kuncinya sih? Sini balikin."
"Gak mau, wle!"
Langit tersenyum lebar lalu ikut mengejar Jingga, akhirnya mereka malah bermain kejar kejaran terlebih dahulu hingga tanpa sadar rintik gerimis mulai turun ke bumi.
Cepat cepat Langit menarik Jingga untuk pergi dari sana agar keduanya tak kehujanan dan basah kuyup saat sampai di villa.
"Siap?"
"Iya, siap. Ayo berangkat!" Jingga berseru dengan semangat, membuat Langit tersenyum lagi di balik helm fullface nya. Perjalanan yang mereka tempuh akan cukup memakan waktu, ditambah lagi hujan yang perlahan lahan menjadi semakin deras.
Jadi, hati hati di jalan, semoga sampai tujuan dengan selamat.
TBC.
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit dan Sinar Jingganya [Hajeongwoo]
Teen Fiction𝑾𝒉𝒆𝒏 𝑳𝒂𝒏𝒈𝒊𝒕 𝒇𝒂𝒍𝒍 𝒇𝒊𝒓𝒔𝒕 𝒃𝒖𝒕 𝑱𝒊𝒏𝒈𝒈𝒂 𝒇𝒆𝒍𝒍 𝒉𝒂𝒓𝒅𝒆𝒓 Hajeongwoo area [Bxb, lokal, harsh word, angst] Start: 06-07-2022 End: 30-07-2022