What kind of future.

259 45 1
                                    

Aku rekomendasiin bacanya sambil dengerin lagu what kind of future punya woozi biar ngefeel
Hehe happy reading guys<3

.

.

.

.

.

.




Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.





































As if nothing happened.
I told myself that this is all a dream.
When i close my eyes and open then again.
I wanted to wake up with a relief.


Rasanya semua berlalu begitu cepat bagi Langit, apa yang telah terjadi terasa seperti mimpi. Dan jika memang itu hanya mimpi, Langit berharap untuk segera bangun dan melupakannya.

Langit masih tak mengerti, mengapa semesta sangat senang untuk mempermainkannya?

Mengapa? Karena apa? Karena Langit pendosa? Karena Langit pembangkang? Karena Langit melanggar norma dunia? Atau karena Langit mencintai sesosok lelaki manis bernama Jingga?

Jika bisa pun ia tak akan mau untuk mencintai seorang lelaki, ia mungkin akan memiliki kekasih yang cantik dan manis. Namun perasaan juga tak akan bisa berbohong, jika hatinya mengatakan seorang itu Jingga, lantas, ia harus bagaimana? Tetap diam memendam perasaannya yang semakin membuncah dan membuat sesak dalam dadanya?

Iya, benar. Seharusnya begitu.

Seandainya dari awal Langit tetap memilih diam, dan memendam perasaannya seorang diri, pasti Jingga tak akan pernah terluka karena dirinya.

Seandainya saat itu Langit mendekati Jingga karena ingin berteman, bukan memaksa Jingga agar menjadi kekasihnya, pasti Jingga tak akan pernah mendengar caci maki yang menyakitkan dari orang orang.

Seandainya saat itu di taman Langit memilih untuk berhenti ketimbang melanjutkan hubungan keduanya, pasti harga diri Jingga tak akan di injak injak hanya karena mempertahankan cintanya yang melanggar norma dunia.

Seandainya saat itu Langit tak mengajak Jingga pergi ke pantai. Seandainya saat itu Langit menolak ajakan Jingga untuk kabur.
Seandainya saat itu Langit bisa mencegah semuanya.

Seandainya.

Seandainya...

Dan hanya seandainya...

Our past that didn't line up.
If i can go back in time.
Rather that roughly, but warmly.
Would i be able to let you go?

Karena pada kenyataannya, Langit tak akan bisa mencegah semua yang telah terjadi.

Lantas dimana Jingga? Entahlah, Langit pun tak tahu.

3 hari telah berlalu. Saat kecelakaan itu terjadi, tubuh Langit terjepit oleh motornya sendiri dan terseret cukup jauh karena mobil yang menabraknya. Sementara Jingga, tubuhnya terlempar jauh dari motornya dan terjatuh dari tebing tinggi itu.

Langit menyaksikannya, ia melihat semuanya. Saat tubuh Jingga telempar dari motornya dan menubruk aspal dengan kencang hingga helmnya terlepas dari kepalanya, saat Jingga tak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya karena jalanan yang licin, dan yang terakhir saat Jingga memberikan senyum terakhirnya yang paling manis pada Langit sebelum tubuhnya benar benar terjatuh dari tebing menuju dasar laut.

Langit menyaksikannya, ia melihat semuanya. Namun yang bisa dilakukannya hanya berteriak dengan kencang dan berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan tubuhnya yang masih terjepit oleh motornya.

Beberapa orang yang lewat mulai menepi dan menolong Langit untuk menyingkirkan motornya.

Jika saja saat itu orang orang tak mencegahnya untuk ikut loncat dan menyusul Jingga, pasti saat ini ia tak akan hidup dengan rasa penyesalan yang menghantui.

When we weren't over.
As i held onto whatever was left.
You let go of me as i refused.

Hari ini, sudah 6 hari terlewati. Luka luka di tubuh Langit masih belum mengering di balik perban. Begitupun luka di hatinya, sakitnya masih sama, pedihnya masih sama, dan menyesalnya juga masih sama.

Dengan segala usaha Langit membujuk kedua orang tuanya agar mengizinkannya kembali melihat keadaan tim sar yang masih berusaha mencari jasad tubuh Jingga di lautan. Walaupun sebenarnya terdengar sia sia.

This waiting it's not easy to endure.
Our future that was forgotten at some point'.
And that i thought of it as of nothing much only be seen as futile and sad.
It's not that i want to forget you.

Dengan diantar oleh Dipta dan Marvel, akhirnya Langit kembali datang ke tempat terakhir kali ia melihat senyum manis Jingga.
Berdiri di ujung tebing sembari menatap ke laut lepas yang mungkin saja Jingga juga bisa melihat dirinya dari bawah sana.

We were happy when our conversing hearts were piled up.
You, who isn't with me anymore.

"Jingga, lo dimana? Kapan... Kapan lo pulang?" Suara Langit sangat serak membuatnya terlihat semakin menyedihkan.

Perlahan tubuhnya merosot jatuh terduduk di tanah, tangisnya pecah, hatinya luluh lantah.

Dipta dan Marvel hanya mampu memeluk Langit dengan erat. Mereka pun sama sama hancur, namun mereka juga tau, Langit lebih hancur.

"Gak adil! Semesta sialan! Kenapa lo gak bisa biarin kita bahagia? Atau seenggaknya biarin dia bahagia... Brengsek, gue bahkan gak bisa nepatin janji gue." Tangisan Langit semakin kencang, terdengar sangat pilu dan menyakitkan bagi siapapun yang mendengarnya.

In the end, what kind of future Will come to us?
Even if the Heavens don't give us an answer.
I'm quite foolish, i realized i can't even know.

"Jingga, udah cukup, berhenti kaburnya. Ayo pulang, sayang."

Sore itu cuaca begitu cerah, matahari mulai terbenam, langit menyatu dengan sinar jingganya yang begitu indah.

Dan seharusnya Jingga masih disini, untuk mewujudkan mimpi kecilnya.






(Song: What kind of future by Woozi seventeen)





TBC.



Masih ada satu chapter lagi!
Semoga ngefeel ya T_T
Bye byeee<3

Langit dan Sinar Jingganya [Hajeongwoo]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang