“Marv, Jingga mana?”
Marvel, atau yang biasa dipanggil Marv oleh teman temannya menengok kala Langit tiba tiba menepuk pundaknya dari belakang.
“Gak tau, tapi tadi bilang mau ke SMK 3 dulu.”
Langit mengernyit, perasaan nya mulai tak enak. “Ngapain kesana? bukannya isinya anak anak berandal semua?”
Sontak saja Marvel menghentikan langkahnya. Matanya melebar saat baru mengingat fakta itu. “Shit, Langit, gue lupa. Mampus pasti bakal babak belur lagi.” ujarnya dengan nada panik.
Setelah mendengar penuturan Marvel, Langit langsung berlari menuju parkiran dan menancap gas meninggalkan Marvel yang tertinggal cukup jauh dibelakangnya.
Benar saja perkiraan Marvel, saat sampai di belakang SMK 3, Langit langsung disuguhi pemandangan Jingga yang tengah memukuli salah satu siswa disana lengkap dengan banyaknya lebam di wajahnya dan luka luka di tubuhnya.
“Bajingan, berhenti ikut campur urusan gue!” Teriaknya dengan amarah yang masih belum meredup. Tangannya kembali mengepal, siap untuk melancarkan bogemannya kembali, namun Langit dengan sigap menahannya. Mengcengkram tangan Jingga dengan kuat dan menariknya pergi dari sana secara paksa.
“Lepas! brengsek, sakit, Langit.” umpatnya lagi, namun tak dipedulikan oleh langit yang masih menariknya entah kemana.
Ternyata langit menariknya menuju minimarket lalu tiba tiba mendorong tubuh Lingga kasar hingga terduduk di salah satu bangku yang selalu tersedia di depan minimarket itu.
Tanpa kata Langit meninggalkan Jingga sendirian di luar, sementara dirinya masuk ke dalam minimarket. Setelah beberapa menit akhirnya Langit keluar kembali membawa sekantong plastik berisi tisu, obat merah, plaster dan lainnya.
Langit masih diam, enggan berbicara. Namun dengan lembut dan hati hati mulai mengobati luka luka di tangan dan wajah Jingga. “Shh, pelan goblok, perih.”
Dengan sengaja Langit justru menekan kuat salah satu lebam di wajah Jingga, membuat Jingga berdesis kembali dan menatap Langit marah. “Gausah ngeluh, tadi aja kuat mukulin orang sampe sekarat.” ucap Langit santai.
Jingga mendengus keras, namun tetap membiarkan Langit mengobatinya hingga selesai. “Nih, buat kompres pipi lo dulu.” Langit menyodorkan sekaleng cola dingin pada Jingga.
“Makasih.”
Sejenak Langit membiarkan Jingga sibuk dengan sekaleng cola di tangannya yang kini menempel di pipi gembulnya. Langit mentap Jingga lekat, ada rasa tak suka saat melihat kembali luka di wajah manis Jingga.
“Ngapain berantem?” Tanya Langit lembut.
Jingga balas menatap Langit, lalu tersenyum kecil. “Pengen aja sih, udah lama ga nonjok orang.”
“Tapi lo jadi luka, Jingga.”
“Terus kenapa? bukan urusan lo juga.” Mendengar jawaban Jingga malah membuat emosi Langit terpancing.
Tanpa aba aba, Langit kembali mencengkram tangan Jingga kuat dan menatapnya tajam. Tak mempedulikan Jingga yang kini mengeluh pada Langit untuk dilepaskan karena rasa sakit yang dirasakannya.
“Lo masih gak nganggep keberadaan gue?”
“Apa sih, lepas bangsat, sakit ini tangan gue.”
“Jawab dulu pertanyaan gue, jingga!” kali ini Jingga berhenti memberontak. Ia cukup terkejut karena tiba tiba Langit membentaknya untuk pertama kali.
Raut wajah Jingga berubah, ia terkekeh kecil lalu melayangkan tatapan serigalanya pada Langit. “Sadar diri, lo bukan siapa siapa gue, Langit.”
Langit naik pitam. Tanpa sadar ia semakin kuat mencengkram tangan Jingga. Bahkan ia juga tak sadar jika kini tangan Jingga gemetar karenanya.
“Lepas, sakit.” ujar Jingga lirih. Emosi Langit sekejap redup saat menatap mata indah Jingga yang berkaca kaca. Ia melepaskan cengkramannya dan melihat tangan Jingga yang telah berubah menjadi sangat merah karena ulahnya.
“Jingga, astaga. Jingga, gue minta maaf, gue ga sadar tadi-” ucapan Langit terhenti kala Jingga kembali menatapnya tajam. Namun sorotnya mengisyaratkan bahwa ia takut pada Langit.
Langit memejamkan matanya sebentar. Tiba tiba ia menarik Jingga masuk ke dalam dekapannya, mengelus punggung dan rambut Jingga dengan lembut tanpa mempedulikan tatapan aneh yang dilayangkan orang orang pada mereka.
Sementara Jingga terdiam, mematung, dan bingung. Ia tak memberontak ataupun membalas pelukan hangat Langit.
Iya, benar, rasanya hangat.
“Maaf, Jingga, maaf.” bisik Langit di telinga Jingga berkali kali.
“Maaf, Jingga. Gue ga sadar kesulut emosi, gue ga bisa liat lo luka gini, Jingga.”
“Tapi lo juga nyakitin tangan gue, bodoh.”
“Maaf.” Bosan mendengar kata maaf yang terus terusan keluar dari mulut Langit, kini Jingga memilih menyandarkan kepalanya pada pundak Langit.
Langit tentu saja tak menolak, kembali mengusap usap kepala Jingga lembut hingga sang empu mulai memejamkan matanya perlahan.
Beberapa menit terlewati dengan posisi mereka yang masih berpelukan, lama kelamaan Langit tak nyaman dengan tatapan disekitarnya, begitupun suara cibiran mereka yang terlalu keras hingga sampai pada telinga Langit. Langit takut Jingga mendengarnya.
“Jingga? hei lo denger gue kan?” beberapa kali Langit mencoba menggoyangkan tubuh Jingga agar melepaskan pelukannya, namun yang didapatinya malah Jingga yang mendusel duselkan wajahnya pada ceruk leher Langit. Mencari posisi nyaman.
“Lah malah tidur, ini gue bawa baliknya gimana ya.” gumamnya.
TBC.
Choi Hyunsuk as Marvel
Jangan lupa vote and comment nya ya<3
Btw, kalau ada yang mau ngasih kritik atau saran juga boleh kok, terimakasih banyakk(つ≧▽≦)つ
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit dan Sinar Jingganya [Hajeongwoo]
Teen Fiction𝑾𝒉𝒆𝒏 𝑳𝒂𝒏𝒈𝒊𝒕 𝒇𝒂𝒍𝒍 𝒇𝒊𝒓𝒔𝒕 𝒃𝒖𝒕 𝑱𝒊𝒏𝒈𝒈𝒂 𝒇𝒆𝒍𝒍 𝒉𝒂𝒓𝒅𝒆𝒓 Hajeongwoo area [Bxb, lokal, harsh word, angst] Start: 06-07-2022 End: 30-07-2022