Sayap Pelindungmu.

290 57 0
                                    


Seminggu terlewati, tanpa sadar keduanya malah menjadi semakin dekat. Bahkan kini Jingga selalu pergi dan pulang sekolah bersama Langit.

Namun ada yang berbeda dengan pagi ini. Tiba tiba Jingga mengirim pesan pada Langit agar tak menjemputnya seperti biasa. Rasanya aneh, padahal biasanya Jingga lah yang merengek pada Langit dan menelfon nya berulang kali agar cepat menjemput Jingga supaya keduanya tak telat sampai sekolah.

Langit memarkirkan motornya di ujung. Awalnya ia hanya akan langsung berlalu dari sana dan mencari keberadaan Jingga di kelasnya. “Loh? Jingga bukan sih? ngapain dah disana?”

Parkiran sekolah mereka dekat dengan lapangan basket dan gudang. Dan tanpa sengaja Langit melihat sosok pemuda yang mirip dengan Jingga tengah berjalan ke arah gudang.

Setelah menimang nimang beberapa saat, akhirnya Langit memutuskan untuk mengecek sosok di dekat gudang itu. Ia semakin yakin bahwa pemuda itu memang Jingga saat melihat tas yang tersampir di pundaknya.

“Dorr! Ngapain disini coba-”

Jingga terkejut, ia segera membuang setengah batang rokoknya dengan tergesa gesa.

“Lo ngerokok?”

Tak ada jawaban dari Jingga. Langit geram, apalagi kini Jingga malah memalingkan wajahnya seolah tak mau menatap Langit.

“Kalo ada orang ngomong, perhatiin, Jingga.” Ujarnya tegas. Namun masih sama, Jingga tetap tak menjawab dan masih memalingkan wajahnya.

“Mphh!” Jingga melebarkan matanya saat tiba tiba Langit mencengkram dagunya dan menariknya paksa agar kepalanya mendongak keatas, menatap mata Langit.

Langit hendak membentaknya lagi. Tapi lidahnya mendadak kelu. Jingga si pemilik tatapan serigala dan senyum semanis madu kini terlihat sangat kacau dengan beberapa luka di wajahnya.

Langit melepaskan cengkramannya, tubuhnya merosot kebawah. Ia mengacak rambutnya frustasi dan menghela nafas dengan keras. Jingga hanya menyaksikan semua kegiatan Langit. Ia takut, namun juga tak bisa lari dari sana.

Tak lama, Langit kembali berdiri lalu memegang pundak Jingga dengan erat. “Lo berantem lagi?”

Jingga menggeleng. “Terus kenapa muka lo bisa bonyok kaya gini? Kenapa juga lo harus ngerokok di sekolah, Jingga? Untung gue yang mergokin lo, coba kalo anak osis lain? Lo harus masuk BK, Jingga.”

Jingga tak begitu mendengarkan semua ocehan Langit, tangannya bergetar dan ia coba tutupi sebisa mungkin dengan mencengkram bagian bawah seragamnya.

“Hei, coba jawab omongan gue. Lo kenapa diem terus?” Sejujurnya langit sangat kesal saat ini, namun ia masih berusaha menahannya karena Jingga. Ia tak ingin membuat Jingga takut padanya.

Perlahan Jingga mengangkat kepalanya, bibirnya ia gigit dengan kuat dan matanya mulai berkaca kaca.

“Jingga? Astaga lo kenapa, hei? Jingga?” Emosi Langit meluap begitu saja. Ia terlampau khawatir saat melihat keadaan Jingga hingga tanpa sadar pun suaranya melembut kembali.

“Langit.” ucapnya lirih.

“Iya gue disini, lo kenapa, Jingga? Ayo bilang sama gue”

“Langit, tolong... tolong yakinin gue kalo nyerah bukan satu satunya jalan yang bisa gue lakuin sekarang.”

Langit bungkam. Sungguh, ia bingung dengan tingkah laku aneh Jingga pagi ini. Namun tetap saja setelahnya ia memeluk tubuh bongsor Jingga dengan erat, sangat erat.

Tak ada penolakan disana, Jingga balas memeluk Langit dengan erat dan menenggelamkan wajahnya pada pundak Langit. Hingga perlahan Langit sadar jika pundaknya basah karena air mata Jingga.

Tak banyak yang Langit lakukan. Ia hanya memeluk Jingga dengan erat sembari mengelus elus kepalanya dengan lembut agar Jingga sedikit tenang.

“Gapapa, keluarin semuanya sampe lega.”

Suara isakan mulai terdengar. Langit memejamkan matanya erat, tangisan Jingga terdengar sangat pilu seolah olah memberi tahu Langit bahwa ia putus asa saat ini.

“Jingga, dengerin gue. Gue sayang sama lo. Sayang banget. Tolong, jangan nyerah dulu, demi hal hal kecil yang biasa lo lakuin, demi orang tua lo yang lagi nunggu di rumah, demi marvel yang mungkin sekarang lagi misuh misuh nyariin lo di kelas, demi suara hujan yang selalu bikin lo tenang, demi batagor favorite lo yang selalu lo pesen di kantin, demi temen temen lo yang selalu ketawa bareng lo di belakang kelas.

Dan demi diri lo sendiri yang udah bisa berjuang sampai saat ini. Jingga, lo hebat. Ayo bilang makasih dulu sama diri sendiri.”

Hening setelahnya. Suara isakan Jingga masih terdengar meskipun sangat lirih. Perlahan lahan Jingga mengangkat kepalanya, lalu menghapus jejak air mata di pipinya menggunakan lengan seragamnya.

Dengan susah payah Jingga menahan isakannya dan berusaha menuruti perkataan langit barusan. “Makasih, Jingga... karena- ugh... udah bertahan sampe sekarang.”

Langit terkekeh kecil, tangan besarnya ia gunakan untuk menghapus jejak jejak air mata di pipi gembul Jingga. Dengan lembut ia mengusap poni Jingga yang sedari tadi jatuh menutupi mata indahnya. Ah... sayang sekali, kini mata indah itu menjadi sembap dan sedikit bengkak.

“Jingga, kalo ada apa apa bilang sama gue, ya? Gue selalu disini, buat lo.” Jingga mengangguk kecil untuk menjawab Langit.

“Buat yang ini, engga mau lo ceritain ke gue?”

“Nanti... nanti gue ceritain.”

Langit terkekeh lagi, lucu sekali Jingga ini. Padahal wajahnya banyak memar dan luka seperti preman. Tapi saat ini malah terlihat sangat imut dengan hidung yang memerah, mata bengkak dan bibir yang sedikit mengerucut ke depan.

“Arghh Jingga ya ampun. Bisa bisanya lagi kayak gini lo malah gemes banget? Lo mending jadi pacar gue aja gak sih?”

Sempet sempetnya....

“Iya.. ayo.”

Tunggu sebentar. Langit tak salah dengar kan? Suara Jingga memang sangat parau namun sepertinya tadi ia mengatakan-

Langit mengernyit bingung. “Hah? Gimana?”

Jingga mengusap tengkuknya pelan. Wajahnya sedikit memerah, entah karena efek menangis tadi atau yang lain. “Katanya jadi pacar lo? Yaudah, ayo”

Langit melebarkan matanya, mulutnya menganga lebar hingga air liurnya menetes. “Dih, jorok anjing.”

Langit tak menggubris ucapan Jingga. Ia langsung menerjang tubuh Jingga untuk ia peluk dengan erat lagi. Sementara Jingga gelagapan karena tindakan Langit yang tiba tiba dan membuat keduanya hampir terjatuh kalau saja Jingga tak bisa menahan tubuhnya.

“Hehehe makasih. Makasih, Jingga. Gue janji bakal jaga lo baik baik kayak malika yang dirawat seperti anak sendiri.”

“Apasih, gadanta banget lo anjir.”

Tanpa disadari, Jingga kini mulai tersenyum. Senyuman manis itu kembali hadir di wajahnya. Jingga menghela nafasnya sebentar lalu menyandarkan pipinya pada pundak Langit. Ia tak berniat melepaskan pelukan eratnya meskipun suara bel masuk telah berbunyi beberapa menit yang lalu.

“Gue sayang lo, Jingga.” ucap Langit tiba tiba

“Iya, gue tau.”

“Gue juga.” Lanjutnya lirih.

Langit dan Sinar Jingganya [Hajeongwoo]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang