15. Pengakuan Mirna

15.6K 1.3K 211
                                    

______

Mirna terkesiap. Tidak menyangka ide Anwar bisa sejauh itu.

"Ha?" delik Mirna.

"Di sini nggak aman buat kamu, Mirna. Terlalu bebas. Tuh, barusan Om liat ada laki-laki masuk ke kamar sebelah dengan gampangnya. Ini kan kosan perempuan. Emang nggak ada peraturan gitu di sini?"

Mirna terdiam akan komentar Anwar mengenai keadaan kosnya. Dia benarkan dalam hati. Selama tinggal di kosan, beberapa kali Mirna mendengar suara-suara aneh di sebelah kamarnya, desahan perempuan dan lenguhan laki-laki, yang sedang memadu kasih. Meski judulnya kosan perempuan, tetap saja siapapun bebas ke kamar. Padahal Ibu kos sudah menulis peraturan.

'Dulu pernah kita marahin yang suka masukin cowok ke kamar, eh malah kabur dan nunggak bayaran trus nyebarin gosip kalo ibu kosnya galak, berbulan-bulan kamar pada kosong. Yang parah lagi penduduk sekitarnya nih pada bilang ke ibu, udah, Bu, bebasin aja. Kalo kejadian kan tinggal lapor ke RT. Beres. Ternyata mereka tuh seneng kalo bebas, jadi rame..., dagangan mereka jadi pada laku'

Itu salah satu penjelasan Yuli kepada Mirna yang menanyakan kenapa kosan milik ibunya melonggarkan tamu laki-laki berkunjung. Dan ternyata penyewa kamar kos sebelah masih memiliki hubungan persaudaraan dengan pemilik kos. Apa boleh buat, pikir Mirna.

Dan sekarang dia tahu apa yang dikhawatirkan Anwar.

"Pindah ke mana, Om?" tanya Mirna sambil memainkan ujung baju kaosnya.

"Bagusnya pindah aja ke akomodasi on campus. Jadi kamu gampang ke kampus. Ada penjaganya. Kamu lebih aman di sana. Fasilitas juga wah. Pokoknya kamu tinggal belajar dengan fokus," jawab Anwar.

"Mahal biayanya...," lirih Mirna pelan.

"Om yang bayarkan...,"

Mirna memberanikan diri menatap Anwar yang terlihat sungguh-sungguh.

"Nggak usah, Om. Mirna nggak mau ngerepotin Om. Lagipula, Mirna sudah betah di sini," ujar Mirna. Sebenarnya dia segan berhubungan dengan Anwar, khawatir Paula mengetahuinya dan ujungnya pasti berwujud pertengkaran.

"Mirna nggak mau nanti Paula marahin Mirna lagi...,"

"Yah..., Om nggak akan cerita ke dia,"

"Repot pindah-pindahin barang...,"

"Om bantu. Om panggil orang yang akan angkat barang-barang kamu. Pokoknya kamu tau beres. Yang penting kamu nyaman,"

"Mirna udah nyaman di sini...,"

Mirna masih merasa enggan menerima tawaran Anwar. Meski menggiurkan, tetap saja pikirannya terbebani. Mau tidak mau dia harus mengatur strategi agar terbebas dari amarah Paula. Dan itu pasti tidak mudah. Lebih baik dia tolak saja tawaran Anwar.

Anwar tatap wajah Mirna dengan perasaan agak kecewa. Dia tidak mau memaksakan kehendaknya.

Kepalanya memutar mengamati keseluruhan penjuru kamar Mirna.

"Ok..., senang bisa ketemu kamu sekarang. Om lega sudah tau di mana kamu tinggal...," ucapnya seraya berdiri dari duduknya. Dia raih jas kerjanya dan memakaikannya ke tubuh besarnya. Anwar menduga Mirna tidak nyaman dirinya berlama-lama di kamarnya.

Mirna ikut berdiri. Wajahnya menunjukkan kekecewaan. Rasanya cepat sekali Anwar mengunjungi kamarnya sore itu. Dengan perasaan kacau, dia biarkan Anwar melangkah menuju mulut pintu.

"Hm..., nanti kapan-kapan Om boleh ke sini lagi kan?" tanya Anwar yang dua kakinya sudah terbungkus sepasang sepatu.

Mirna mengangguk dengan wajah murung.

MIRNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang