134. Kasih Anwar

6.1K 576 21
                                    

______

Dugaan Rika benar. Anwar lebih siap menghadapi kelahiran anak laki-lakinya sekarang, sehingga dia lebih relaks dan percaya diri.

Jika saat melahirkan Harumi Anwar tidak berada di sisi Mirna, sekarang dia yang mendampingi Mirna. Rika dan keluarga Mirna yang menunggu di luar ruang bersalin.

"Nah. Harusnya begini posisinya. Kita di luar, dia yang di dalam. Dulu dia malah hampir muntah di dalam," gerutu Rusdi saat menunggu proses kelahiran cucunya yang kedua. Dia masih mengingat saat-saat menunggu Mirna yang melahirkan Harumi yang sangat menegangkan. Melihat Anwar yang cemas waktu itu, Rusdi pun ikut cemas. Tapi sekarang dia justru sangat santai. Merasa tenang Anwar yang mendampingi Mirna sekarang.

"Duh. Ada-ada saja bang Anwar," gumam Rika sambil mengulum senyumnya. Mengamati sikap Papa Mirna, Rika yakin bahwa Papa Mirna dan kakak sepupunya memiliki hubungan persahabatan yang sangat dekat. Sikap Rusdi apa adanya dan tidak dibuat-buat. Kadang berdecak sebal, kadang berseloroh bebas di hadapan menantunya itu.

"Ya sekarang itu kan Anwar lagi senang-senangnya. Nggak cuma dapat anak, tapi juga cucu," timpal Ratih. Dia pun tidak terlalu khawatir putrinya melahirkan kali ini, karena Mirna tidak pernah mengeluh selama hamil.

"Haha. Jadi Mirna masih muda sudah punya cucu ya, Ma?" sela Rusdi tertawa.

"Iya, Pa. Kita berarti sudah punya cicit," balas Ratih dan berhasil membuat Rusdi terdiam.

Lagi asyik-asyiknya bercanda, seorang dokter datang menemui mereka memberi kabar bahwa cucu mereka sudah lahir dengan lancar dan selamat.

______

Beberapa menit sebelum melahirkan ...

Anwar mulanya sedikit merasa cemas saat menemani istrinya melahirkan, namun sikap tenang Mirna perlahan menghilangkan perasaan cemasnya itu. Mirna tidak mengerang kuat dan fokus mengikuti arahan dokter. Mirna sempat pula mengajak Anwar berbincang-bincang mesra.

"Mau aku belikan apa, Sayang?" tanya Anwar sambil mengusap-usap pelan kepala Mirna dengan tangan kanannya. Tangan kirinya mengepal tangan Mirna erat. Tatapan Anwar begitu hangat ke wajah Mirna sehingga Mirna pun merasa sangat nyaman.

"Aku mau Abang belikan aku pemanggang baru," jawab Mirna. "Yang lama rusak, Bang," keluhnya.

Anwar tersenyum kecil.

"Iya. Nanti aku belikan. Kamu nggak kepingin perhiasan atau mobil baru?" tanya Anwar dengan nada membujuk.

Mirna menggeleng. "Pemanggang aja...." Mirna lalu mengerang kesakitan. Dia eratkan genggaman tangannya. Anwar mulai agak cemas, namun dia tetap bisa mengendalikan diri.

"Kamu pintar, Sayang," ucap Anwar saat melihat wajah Mirna memerah menahan sakit. Mirna ikuti arahan dokter dan mulai fokus mengedan pelan karena kepala bayi sudah terlihat di pintu di bawah tubuhnya.

"Dorong pelan ya, Bu. Nah begitu ... Pinter," puji dokter. Senang dengan Mirna yang pandai menguasai tubuhnya dan selalu mengikuti arahannya.

Setelahnya Mirna tidak lagi merasa sakit, hanya merasakan sensasi panas di sekitar selangkangannya. Ingin sekali rasanya panas itu segera hilang.

"Aku cinta kamu, Mirna," ucap Anwar dengan senyum bahagia saat isak tangis bayi terdengar sangat kencang.

"Abaaaang...." Mirna tak sanggup membalas ucapan cinta Anwar. Dia terlampau bahagia sekaligus lega bahwa anaknya sudah lahir dengan selamat.

"Duh. Ganteng dan lucu banget ini jagoannya. Namanya siapa ya?" Sang dokter lalu menyerahkan bayi mungil merah ke dada Mirna. Mirna sambut dengan perasaan haru suka cita dan membimbing bayinya menyusu ke dadanya. Anwar yang tak tahan melihat pemandangan yang mengharukan tersebut, menangis tersedu-sedu.

"Jangan lupa didoakan, Pak Anwar," tegur sang dokter. Dia pun menyuruh Anwar untuk membersihkan diri sebentar sebelum mendoakan putra tercintanya.

"Arsyan, Pak Dokter," sela Mirna tiba-tiba saat Anwar sedang menuju kamar mandi.

"Punten?"

"Namanya Arsyan,"

Dokter mengangguk tersenyum.


***

_____



Beberapa tahun kemudian....

Mirna sangat menikmati perannya sebagai ibu rumah tangga, sehingga keinginannya untuk meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi mulai pudar dan sekarang bahkan tidak pernah lagi disinggung di sela-sela pembicaraan dengan suaminya. Mirna senang menyibukkan dirinya merawat dan mendidik dua anaknya yang masih kecil. Padahal sejak awal-awal menikah Anwar sudah pernah menawarkan Mirna untuk melanjutkan kuliah seperti Paula, tapi di dalam negeri dan bukan di luar negeri.

Pada kehamilan yang ketiga ini, Mirna mulai berpikir untuk melanjutkan sekolahnya. Dia berencana akan kembali kembali kuliah setelah dua atau tiga tahun ke depan di mana anak-anaknya sudah cukup besar dan mandiri. Anwar juga sudah memutuskan untuk tidak lagi menginginkan anak. Beberapa hal yang dia pikirkan, usianya yang semakin tua, khawatir Mirna jenuh dengan perannya sebagai ibu rumah tangga, dan kekhawatiran tidak mampu memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya. Mirna sebenarnya tidak masalah jika menambah anak, tapi setelah membicarakannya baik-baik dengan Anwar, dia pahami kekhawatiran suaminya itu.

"Aku ingin menikmati masa-masa tua hanya bersamamu lebih lama. Usia mana tau...."

"Abang. Aku nggak suka kata-kata itu,"

"Ya. Suka nggak suka pasti akan terjadi. Aku yang semakin tua ... khawatir nggak bisa memberikan yang terbaik untuk kamu dan anak-anak,"

"Abang tuh nggak tua. Masih gagah begini,"

"Mirna,"

Anwar kecup bibir Mirna sekilas.

"Iya. Aku ngerti alasan Abang dan aku terima. Tapi aku nggak mau abang ngomong begini ... kayak mau ninggalin aku...."

Anwar tertawa kecil. Dia tahu Mirna sangat mencintainya, sehingga sangat takut akan kehilangan dirinya.

Anwar usap perut buncit polos Mirna pelan-pelan sambil menatap wajah Mirna penuh cinta.

"Sudah siap ke Semarang?" tanya Anwar sambil mengamati perut Mirna yang bergerak-gerak.

"Iya, Abang. Papa mama sudah siap menyambut cucu yang keempat," ujar Mirna. Adi sudah menikah dengan perempuan bernama Gendhis, yang merupakan saudara sepupu Terry, suami Paula. Adi baru memiliki satu anak perempuan.

"Papa pasti senang banget," gumam Anwar sambil menurunkan bawahannya.

"Ya, Bang. Hari ini aja Papa sudah tiga kali nelpon untuk mastiin jadi atau nggaknya kita ke Semarang," ujar Mirna. Keduaorangtua Mirna menginginkan Mirna melahirkan di Semarang. Anwar pun menyetujuinya, dan berencana akan tinggal di Semarang selama dua bulan.

Anwar satukan dua kaki Mirna dan memiringkannya. Dia arahkan senjatanya yang sudah menegang ke arah milik Mirna dan menggesek-gesekkannya sebelum melesat ke dalam tubuh Mirna.

"Aaaah...." Mirna mendesah pelan sambil memejamkan matanya menikmati gesekan-gesekan milik suaminya di lubang nikmatnya.

"Enak kan," decak Anwar.

"Iya, Abang. Tapi kasihan dedek di dalam, Baaang. aaaakh,"

"Nggak papa,"

Anwar maju mundurkan pinggulnya ke tubuh Mirna, sambil meremas-remas buah dada Mirna.

Mirna berdesis nikmat. Milik Anwar semakin terasa penuh di dalam tubuhnya.

Anwar mundurkan tubuhnya ingin melihat miliknya yang sedang beradu gesek dengan milik Mirna.

"Kamu basah banget ah. Liciiin dan wangi. Duh ... Mirna sayaaang," ujar Anwar yang mengamati milik Mirna yang licin dan basah penuh cairan. Degup jantungnya semakin kencang dan tak beraturan saat Mirna terus mendesah dan menyebut namanya berulang-ulang.

Anwar kencangkan gerakannya sedikit menghentak sampai pada akhirnya melemah saat pelepasan.



***

_____

MIRNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang