Sembilan

75 6 0
                                    

Entah mendapatkan keberanian darimana hingga Kanaya bisa berada di depan Coffee Palace untuk yang kedua kalinya di hari yang sama. Alibinya untuk mengambil mobil. Klise. Padahal Kean sudah menawarkan alternatif lain tadi.

Sepertinya pola pikir Kanaya terganggu karena tidak sengaja kepalanya terhantuk meja saat mengambil sendok yang jatuh di makan pagi tadi.

Kanaya menggigit bibirnya sedang kakinya yang dilapisi flatshoes dengan aksen bundar keemasan di depannya mengetuk-ngetuk lantai mobil pelan. Memikirkan harus bertemu dengan Kean lagi, jelas saja membuatnya gugup. Apalagi dengan situasi dimana Kanaya sendiri yang mengambil pilihan ini. Berbeda dengan tadi siang.

Mengumpat pelan dalam hati, Kanaya mencoba meyakinkan dirinya. Nothing's gonna happen. Dia cukup berbakat dalam mencairkan suasana. Apalagi dengan orang yang sudah dia temui beberapa kali. Kanaya pasti bisa.

Lagipula sudah terlambat untuk kembali. Baru saja pesan dari Kean masuk. Menginfokan posisinya sekarang.

"Pulangnya mau diikutin dari belakang nggak?" 

Kanaya melirik ke sebelahnya. Dia masih berada di mobil bersama Sang Papa yang mengantarnya malam ini. "Duluan aja, Pa. Naya mau mampir bentar ke dalam nyapa temen yang bantu aku tadi. Nggak enak langsung balik soalnya. Is it okay?"

"Oke, Papa balik duluan kalau gitu." Daniel mengeluarkan dompet coklat dari saku celananya dan mengeluarkan selembar uang merah dari dalam. "Sekalian makan malam disitu aja, Nak. Papa lagi pengen sate, biar Mama nggak usah masak sekalian."

"Sip! Thank you, Papaku Sayang." Kedua jempol Kanaya teracung ketika uang dari Papanya sudah berpindah ke dalam saku jeansnya. Dia memang tidak membawa tas, ingin tampil santai dengan kaos pink salmon dan boyfriend jean bewarna light blue.

"Kalau dikasih duit aja baru Papanya disayang." Kata Daniel membuat Kanaya tertawa. "Ya udah sana. Biar pulangnya nggak kemaleman."

Lantas Kanaya turun dari mobil. Sebelum masuk, dia menyempatkan untuk mencari Brio putih miliknya yang ternyata masih terparkir di tempat yang sama sebelum ditinggalkan tadi.

Di dalam, Kean sudah menunggu di salah satu meja yang terletak di bawah tangga. Hampir tidak terlihat kalau Kanaya tak diberitahu lebih dulu tadi. Meja ini sepertinya memang dikhususkan untuk orang yang menggunakan laptop karena posisi meja lebih tinggi dari meja lainnya.

Cowok berkaos hitam itu memandang layar laptop yang menampilkan word dengan serius. Sepertinya memang sedang mengerjakan revisi skripsi seperti katanya tadi.

Menyadari kehadiran seseorang di dekatnya, Kean mengalihkan pandangan dari layar laptop. "Duduk Nay."

Kanaya duduk di bangku yang bersebarangan dengan Kean. Kebetulan di meja ini memang didesain untuk dua bangku saja. "Revisian Kak? Serius banget."

"Iya, pusing." Kata Kean sambil menyugar rambutnya. Wajahnya terlihat lelah. Didukung dengan mata panda yang mulai menghiasi wajahnya. Sangat mencerminkan kefrustasian mahasiswa tingkat akhir.

"Duh, ganggu ya?" Ujar Kanaya tidak enak. Padahal dia sudah tahu sejak di rumah tadi dan masih nekat untuk datang kemari.

"Nggak dong. Ini udah mau selesai, mulai burn out nggak bisa mikir." Setelah menyimpan file terakhir, Kean menutup laptopnya. "Udah pesan?"

"Belum. Ini baru mau." Kanaya melirik gelas kosong di meja. "Mau nitip?"

"Boleh deh. Lemon tea sama kuroi tamago." Kata Kean menyebutkan pesanannya.

"Kuroi tamago tuh gimana sih, Kak? Dari kemarin pengen nyoba tapi takut nggak suka."

"Telur mata sapi, nasi, sama ada special saucenya. Mau coba?"

Kanaya tampak berpikir sebentar sebelum akhirnya menggeleng. "Enggak dulu deh. Takut nggak cocok di lidah."

"Enak padahal." Ujar Kean. Setelahnya menyodorkan tiga lembar uang lima puluh ribu. "Sekalian sama pesanan Naya."

Jeda sejenak, Kanaya mencoba menenangkan kupu-kupu yang beterbangan di perutnya saat namanya disebut oleh Kean. Kenapa pula dia jadi selebay ini? Kanaya juga tidak paham.

Satu hal yang Kanaya sadari, bahwa dia sedang berada di fase kesepian dan Kean datang bagai pangeran berkuda putih. Bagaimana cara Kanaya bisa menolak? Dia hanya gadis muda biasa yang ingin punya pacar baik dan keren. Kebetulan cowok di hadapannya ini memiliki keduanya.

Untungnya dia masih cukup waras untuk tidak bertingkah aneh. Padahal kalau di kasur sendirian, dia pasti sudah berguling kesana-kemari. Lagipula ini masih terlalu awal untuk berharap jauh.

"Nggak. Anggap aja kali ini gue yang traktir Kak. Kan tadi udah dibantu banyak." Ujar Kanaya.

Gadis berambut panjang itu menyelonong pergi sebelum Kean sempat menjawab. Dia kembali beberapa menit kemudian dengan dua botol air mineral di tangannya.

"Tadi dianterin siapa?" Tanya Kean begitu Kanaya duduk di hadapannya.

"Papa. Ada urusan juga deket sini, jadinya sekalian ikut." Kata Kanaya berbohong. Ini dia lakukan untuk menghindari Kean yang sempat menawarkan jemputan melalui chat. Dia tidak ingin merepotkan lagi.

Kean hanya memberikan anggukan pelan sebagai respon. Tangannya menyodorkan sebuah kunci dengan gantungan boneka kecil yang langsung diterima oleh pemiliknya. "Mobilnya udah bisa. Parkirnya masih tempat tadi."

"Sip!" Kanaya memerhatikan orang yang sedang sibuk memindahkan laptop ke dalam tasnya. Pakaiannya masih sama dengan siang tadi. "Nggak balik ya dari tadi siang?"

"Iya."

"Habis ini mau kemana?"

Sedetik kemudian, Kanaya menyadari pertanyaannya yang sepertinya tidak perlu diutarakan itu. Sepertinya karena terlalu sering bergaul dengan Vidya, dia juga jadi ikut kepoan. Mau ditarik juga tidak bisa. Ini omongan, bukan chat whatsapp.

"Kayaknya langsung balik rumah." Jawab Kean santai. Badannya tersandar ke punggung kursi, sedang kedua tangannya terlipat di depan dada. "Kenapa?"

"Nggak papa." Jawab Kanaya yang saat ini bingung harus merespon apalagi.

Kean memerhatikan Kanaya. Gadis itu terlihat manis hanya dengan kaos oblong dan tangan yang sibuk memainkan segel air mineral. Wajahnya terlihat segar dengan liptint peach serta bulu mata yang lentik.

Fokusnya berada pada ponsel yang beberapa saat lalu dipenuhi dengan notifikasi chat dari seseorang. Wajahnya tidak menampilkan ekspresi apapun, kecuali sebelah alis yang terangkat samar.

"Suka basket, Kak?" Tanya Kanaya yang sudah menyelesaikan urusannya.

"Suka." Kean menegakkan posisinya, mendorong kotak tisu mendekat ke arah Kanaya karena ponsel gadis itu tidak sengaja terkena tumpahan air di atas meja. "Kenapa?"

Kanaya berdeham. "Tuh Vidya barusan ngechat. Katanya ada event basket besok lusa."

"Mau nonton?"
"Rencananya gitu."
"Sama Vidya?"

"Sendiri kayaknya." Tanpa sadar, Kanaya berdecak kesal mengingat isi chat Vidya barusan. Sahabatnya itu sedang pamer akan menonton dengan gebetan barunya. Otomatis mereka tidak bisa pergi berdua.

Bukannya Kanaya tidak punya teman lainnya. Tapi untuk partner menonton basket, sejauh ini Vidya memang yang terbaik. Dikarenakan mereka berdua sama-sama pernah mengikuti esktrakulikuler basket di SMA.

"Kok sendiri? Vidya kemana?" Tanya Kean lagi.

"Sama gebetan barunya. Gini amat jadi jomblo." Keluh Kanaya tanpa sadar. Mendengar itu, Kean tertawa. "Jangan ketawa deh, Kak. Makin ngenes aja gue."

Tak lama kemudian, pesanan datang. Mereka fokus menyantap makanan masing-masing. Hanya diselingi beberapa percakapan ringan yang tak begitu berarti.

...
Happy sunday!🤗

Kanaya's Own StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang