Musibah bagi karyawan yang tidak membawa kendaraan sendiri terkhusus mobil adalah saat hujan turun mendekati jam pulang kantor.
Siang tadi saat akhirnya awan hitam menggumpal di langit, aku sudah berdoa dengan sungguh-sungguh pada Tuhan agar hujan tidak turun sebelum aku pulang dan sampai rumah, tapi Tuhan ternyata sayang sekali padaku. Mungkin Tuhan ingin aku pulang dengan hujan-hujanan demi bernostalgia dengan masa kecil, karena hanya berjarak lima menit sebelum pulang kantor, hujan turun dengan derasnya.
"Basah kuyup deh," keluh ku keras.
Semua orang menoleh padaku dengan tatapan nelangsa. Hampir semua teman satu team ku adalah pengguna setia ojol dan juga kendaraan umum. Hanya Mas Adit dan Riva yang membawa mobil sendiri dan mereka pun memiliki rumah yang jaraknya jauh sehingga tidak bisa ditumpangi oleh siapapun.
Sebenarnya kedua orang itu akan mau-mau saja jika ditumpangi oleh teman satu kantor, hanya saja kami yang menumpang ini harus tahu diri karena mereka berdua akan memutar jauh demi bisa mengantarkan kami. Jadilah kami terkadang lebih memilih menggunakan taksi online atau taksi konvensional dengan harga yang lumayan daripada harus menumpang kepada dua orang itu.
"Lo enggak dijemput?" tanya Lalisa.
Aku cemberut dengan menggeleng.
"Enggak tahu. Mas Fattah belum balas pesan gue, biasanya kalau dia enggak balas berarti dia lagi sibuk dan itu artinya dia enggak bisa jemput gue," jawab ku nelangsa.
Lalisa mencibir. "Percuma dong punya pacar ganteng, baik, setia, kalau ujung-ujungnya tetep enggak bisa diandelin di waktu yang dibutuhkan kayak sekarang."
Mungkin jika itu orang lain, akan merasa tersinggung dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Lalisa. Untungnya aku sudah mengenal wanita cantik itu dengan baik sehingga aku santai saja dengan ucapannya.
"Ya namanya juga budak korporat kayak kita, dia enggak bisa dong seenaknya pergi di saat masih ada pekerjaan yang harus dia lakuin," belaku. Aku tetap tidak terima dong pacarku dianggap tidak bisa diandalkan.
Mas Fattah itu adalah sebaik-baiknya pacar dan sangat bisa diandalkan. Dia akan langsung menjemput ku kalau aku bersikeras memintanya, hanya saja kadang aku yang tidak ingin membuatnya kerepotan. Toh masih banyak hal yang bisa aku lakukan sendiri tanpa bergantung padanya.
"Mbak, kita bisa naik taksi aja kalau Mbak mau. Keluarnya kita bisa pinjam payung punya kantor."
Aku terkejut saat tiba-tiba saja suara Kale terdengar. Padahal sejak tadi pria itu tidak ambil bagian bahkan saat peristiwa rendang dan daun singkong sekalipun.
"Kamu mau naik taksi? Beneran?" tanyaku tidak percaya.
Pasalnya seperti yang sudah pernah aku bilang di awal, Kale adalah pecinta kendaraan umum. Dia menolak naik taksi jenis apapun dengan alasan tidak aman.
"Ya karena hujan, apa boleh buat," balas anak itu.
"Kale kayaknya udah langsung siaga ya kalau Alen enggak dijemput sama Fattah," celetuk Lalisa.
Aku menoleh kemudian meringis pelan. Susah sekali menjadi yang satu-satunya y yang peka bahwa di ruangan ini pernah ada wanita yang menyukai Kale sedangkan Kale sendiri tidak perduli. Aku yang tidak bersalah ini jadi selalu merasa khawatir dan juga merasa bersalah setiap saat. Capek sekali.
"Karena yang rumahnya searah sama Mbak Alen kan cuma saya," kata anak itu santai.
Lalisa langsung menutup mulut sambil melirik ke arah ku.
Mau tidak mau aku jadi tertawa dengan sindiran atau sarkasme dari Lalisa yang tidak berhasil ditangkap dengan baik oleh Kale.
Padahal Lalisa sudah sering aku peringatkan agar tidak usah mengatakan apapun pada Kale, percuma saja. Pria itu tidak akan mengerti.

KAMU SEDANG MEMBACA
Namanya, Kalendra
RomanceAlena tidak pernah menduga jika seorang junior di kantornya yang dia anggap layaknya adik sendiri justru menjadi orang yang paling berjasa dalam menyembuhkan luka hatinya. Namanya Kalendra, pria polos dan kolot yang hanya bersikap seenaknya di depan...