12.Kambing hitam

9 0 0
                                    

Aku mengerjap, nyaris tidak percaya dengan apa yang aku lihat.

Padahal sejak aku tiba tadi, Kale hanya diam saja walaupun terus menerima caci maki bahkan kerah bajunya yang terus ditarik dengan semena-mena. Namun ketika aku akhirnya ikut campur dan dengan kasar didorong oleh pria antah berantah itu, baru lah Kale mau melawan. Bahkan aku sendiri tidak percaya dengan  tubuh yang tidak begitu berisi, Kale bisa mendorong pria kekar itu hingga beberapa langkah ke belakang.

"Berani banget lo dorong gue?"

Pria itu tidak terima, langsung meringsek maju ke arah Kale namun Kale tidak gentar sedikitpun. Malahan anak itu justru melirik ke arahku.

"Mbak, Mbak sama yang lain masuk aja," pintanya.

Aku menggeleng, karena aku juga ingin tahu masalahnya apa sejak awal.

"Gue cuma mau tahu, atas dasar apa cowok ini tiba-tiba aja nyerang lo? Bahkan sampai datang ke kantor orang dan berlaku seenaknya. Kayak orang enggak sekolah aja."

Aku jelas tahu bahwa ucapanku membawa pria itu menjadi semakin emosi. Tapi aku tidak takut, toh disini banyak orang dan aku yakin sebentar lagi Mas Adit juga pasti akan datang.

"Cewek sial! Mulut lo yang enggak di sekolahin! Gue udah bilang kan, kalau lo enggak usah ikut campur. Ini urusan gue sama dia yang udah berani ganggu hubungan gue sama Lili."

Mataku melotot, aku maju dan mendorong bahunya.

"Lo cuma dengar dari satu sisi tapi udah berani bertindak begini? Gue dan semua orang disini adalah saksinya kalau cowok ini enggak ada hubungan apa-apa sama Lili. Entah apa yang lo denger dari cewek itu, tapi kalau lo mau tahu, dari awal Lili yang kelihatan tertarik sendiri sama cowok ini!"

Suaraku meninggi. Aku heran kenapa semua orang sejak tadi hanya diam saja melihat kelakukan pria ini yang kasar? Kenapa di antara mereka bahkan tidak ada yang memanggil satpam? Bukankah ini termasuk penyerangan?

"Lo jangan ngarang cuma buat belain cowok ini! Jelas-jelas Lili sampai pindah kerja demi ngejar cowok ini. Gimana bisa lo bilang kalau mereka enggak ada hubungan apa-apa?"

Aku menggeleng malas, menoleh pada Kale yang tampak tidak terganggu walaupun sudah dituduh sedemikian rupa.

"Kamu terima dituduh begitu?" tanyaku tidak habis pikir.

Bukannya menjawab, Kale malah menatap ku dengan lekat.

"Mbak, saya kan sudah minta Mbak buat masuk aja. Sebentar lagi jam kantor loh."

Mulut ku langsung berdecak. Dari tadi dia hanya meminta ku untuk masuk, entah apa yang mau dia lakukan sehingga tidak ingin aku melihatnya.

"Yaudah, Len. Kita masuk aja yuk!" ajak Lalisa.

Meskipun aku merasa kesal, tapi kali ini aku menurut sehingga aku dan yang lainnya langsung masuk ke dalam ruangan dan menyisakan Kale bersama dengan pria itu saja di depan ruangan kami.

Sayup-sayup yang aku dengar dari dalam, Mas Adit sudah datang dan sepertinya membantu Kale menghadapi pria gila itu sehingga tidak lama setelahnya Kale juga masuk.

Aku melengos, menolak menatap Kale walaupun  pria itu langsung menatapku begitu dia masuk. Aku masih kesal karena bukannya merasa berterimakasih terhadap aku yang membelanya, dia malah meminta ku untuk masuk ke dalam ruangan.

"Mbak, jam makan siang nanti saya mau ngomong."

"Kenapa harus nunggu jam makan siang?" tanyaku ketus.

"Ya karena sekarang udah masuk jam kerja. Dan saya mau Mbak supaya enggak salah paham, tadi saya punya alasan kenapa saya ngotot nyuruh Mbak sama yang lain masuk."

Namanya, KalendraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang