13.Tidak ada bosan

10 1 0
                                    

Aku tadinya berniat untuk pulang bersama dengan Kale, rindu juga karena sudah lama tidak naik bus bersama dengannya.

Tapi baru saja aku hendak menyatakan niatku itu pada Kale, sebuah pesan masuk ke dalam ponselku. Pesan dari Fattah yang mengabarkan bahwa dirinya sudah menunggu aku di depan kantor.

Mirisnya, aku malah merasa  sedih dengan hal itu. Padahal saat hubungan kami baik-baik saja, dia tidak memiliki waktu untuk bertemu denganku. Janji pun harus dia batalkan berulang kali karena terlalu sibuk. Tapi sekarang saat ada retak kecil di hubungan kami, dia dengan mudahnya datang di saat aku tidak mengharapkan nya.

"Mbak? Bengong aja! Mau pulang enggak?"

Aku tersentak, menoleh pada Kale yang sudah bersiap keluar. Baru aku sadari bahwa aku menghalangi jalan keluar Kale sehingga dengan segera aku menyingkir.

"Pulang lah! Masa iya nginep disini," balas ku.

Aku berbalik badan dan mengambil tas milikku.

"Mau naik apa?"

Kale mengikuti langkahku hingga ke meja kerjaku.

Mendengar pertanyaan dari dirinya, aku berpikir ingin mengatakan bahwa aku ingin pulang naik bus bersama dengannya. Tapi aku kemudian menghela napas sambil menggeleng. Jika aku pulang bersama dengan Kale, maka masalah di antara aku dan Fattah akan semakin runyam.

"Enggak, Kal. Aku dijemput sama Fattah. Duluan ya," pamit ku.

Aku langsung berjalan lebih dulu keluar dari ruangan menuju lobi kantor dimana Fattah sudah menungguku. Padahal sejujurnya aku masih malas untuk bertemu apalagi berbicara dengannya, tapi aku merasa bahwa masalah kami memang harus dibicarakan sebelum menjadi bertambah parah.

Masalahnya jelas hanya di waktu pertemuan kami. Fattah yang semakin sibuk menjadi lebih sering membatalkan janji secara sepihak dan itu membuat aku kecewa. Terlebih ada sosok Imelda yang entah kenapa sekarang membuat aku menjadi semakin cemas. Bagaimana pun mereka adalah manusia berlainan jenis kelamin, mungkin saja karena terlalu lama bersama dan sering terlibat dalam pekerjaan yang sama membuat mereka mulai memiliki perasaan lain.

Aku memejamkan mata sejenak saat rasa perih menghujam hatiku hanya dengan membayangkan hal seperti itu.

"Neng!"

Suara Fattah yang biasanya lembut, kini terdengar keras karena jarak kami yang lumayan jauh.

Aku menatapnya, membiarkan hatiku menjawab rasa penasaran yang aku cemaskan. Karena kekecewaan kemarin aku berpikir tidak ingin bertemu dengan dia lagi, atau mungkin juga perasaan ku mulai berkurang. Maka dari itu aku ingin memastikan nya.

Tapi begitu menatap wajah teduh itu, aku baru menyadari bahwa rasa senang menyelimuti hatiku hanya dengan melihat dia yang bersusah-payah datang untuk memperbaiki masalah di antara kami.

Dengan kata lain, aku jelas masih sangat mencintainya dan tidak ada yang berubah hanya karena perselisihan kecil di antara kami.

"Kenapa ada disini?" tanyaku agak ketus.

Aku bisa melihat bagaimana Fattah yang menatapku sedih. Tidak menjawab, Fattah malah meraih lenganku dengan lembut kemudian menggandeng ku ke arah mobilnya.

Kami duduk berdua di dalam benda besar tertutup itu.

"Aku minta maaf, Neng. Aku tahu kalau aku salah dan udah nyakitin kamu. Aku enggak sengaja buat ngelakuin itu semua, semuanya tiba-tiba aja karena pekerjaan aku. Walaupun begitu, aku enggak akan menyangkal kalau aku salah. Aku benar-benar minta maaf dan berharap kamu enggak marah sama aku lagi. Please."

Namanya, KalendraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang