16.Memahami

15 1 3
                                    

"Kenapa kamu ada di sini sama Kale? Kalian memang keluar bareng?"

Aku sama sekali tidak menyangka jika di waktu yang dia minta untuk berbicara berdua, dirinya malah mempertanyakan masalah itu, bukan menjelaskan lebih dulu mengapa dia dan Imelda masih ada di mall berdua saat teman satu tim mereka sudah lebih dulu pulang?

"Memangnya itu yang penting sekarang? Apa Mas merasa bahwa sekarang waktu yang tepat buat mempertanyakan itu?"

Sebisa mungkin aku menahan intonasi suaraku dengan menyadarkan diriku sendiri bahwa kami masih di tempat umum.

Di depan ku, dia menghela napas sambil mengusap wajahnya. Ekspresi yang terlihat lelah dan frustasi, jujur saja membuatku merasa iba. Hanya saja karena dia menunjukkan nya di saat seperti ini, aku malah jadi kesal.

"Aku sama Imelda satu arah pulang, sama kayak kamu dan Kale. Makanya karena selama ini kami sering pulang bareng setiap kali lembur, secara enggak langsung teman-teman yang lain jadi langsung ninggalin kami setelah urusan kami selesai. Karena mereka pikir aku akan mengantar Imel pulang. Dan lagi, aku tahu Imel pernah jadi korban pelecehan sama salah satu driver taksi online makanya dia enggak pernah mau naik kendaraan umum atau taksi."

Nadanya masih lembut seperti biasa. Fattah memanfaatkan dengan baik waktu yang aku berikan untuk menjelaskan semuanya.

"Harusnya Mas kasih tahu sama teman-teman Mas kalau yang nganterin dia enggak harus Mas Fattah. Dan lagi, di saat yang lain pulang, kenapa Mas dan dia malah sibuk jalan-jalan di mall padahal selama tiga hari ini Mas bahkan enggak ada waktu buat hubungin tunangan Mas sendiri," sindir ku.

Dia memejamkan mata. Tangannya terulur hendak menggapai tanganku tapi aku menghindar.

"Aku bukannya enggak ada waktu, tapi terakhir kali kita ketemu, kamu kelihatan kecewa banget sama aku. Aku pikir kamu butuh sendiri dulu sampai keadaan hati kamu membaik, aku pikir kalau sudah membaik kamu yang akan lebih dulu menghubungi aku. Percaya atau enggak, aku juga nunggu kamu hubungin aku, Neng. dan soal kenapa aku dan Imel enggak langsung pulang, itu semua karena aku minta tolong dia pilihin hadiah buat kamu. Makanya kami ada di toko baju pas ketemu sama kamu."

Kali ini aku diam. Mataku menatap lurus pada matanya, mencari kejujuran dari ucapannya itu. Dan aku menemukannya. Aku tahu bahwa Fattah tidak berbohong padaku, aku tahu bahwa dia berkata jujur dan tidak menutupi apapun. Karena aku mengenal nya dengan baik.

"Dan Mas bisa jamin kalau Mas enggak ada hubungan apapun sama Imelda diluar dari urusan kerja?"

Matanya melebar, kemudian dia menggeleng dengan cepat.

"Sumpah, Neng. Aku sama sekali enggak ada perasaan sama dia. Aku sudah pernah bilang berkali-kali kan sama kamu? Aku cuma sayang sama kamu, kamu calon istriku. Mana mungkin aku malah menyukai wanita lain yang bukan kamu?"

Hatiku mulai tersentuh. Sudah lama aku merindukan tatapan Fattah yang penuh cinta seperti ini. Bahkan ketika dia kembali menggenggam tanganku, aku membiarkannya.

"Aku sedih pas lihat Mas berduaan sama Imelda di sini di saat Mas bahkan enggak hubungin aku."

Tiba-tiba saja Fattah langsung menarik tubuhku ke dalam pelukan nya. Dia menepuk punggung ku pelan.

"Maafin aku ya, Sayang. Ke depannya aku bakalan bilang ke Imelda kalau aku enggak bisa sering-sering nganterin dia pulang lagi."

Aku mengangguk. Memang itu yang aku harapkan, karena jika Fattah tidak melakukannya, maka aku sendiri yang akan bilang pada Imelda.

"Terus gimana kamu sama Kale? Kenapa kamu bisa sama dia?"

Ternyata tiba giliran ku untuk menjelaskannya. Aku mengurai pelukan kami, malu jika dilihat lebih banyak orang.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 01, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Namanya, KalendraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang