7.Sakit

13 1 0
                                    

"Len, kayaknya belakangan ini Mama sudah jarang lihat Fattah. Kalian masih sama-sama kan?"

Di acara sarapan pagi, Mama yang baru saja duduk bergabung setelah memastikan semua personilnya mendapatkan makanan, langsung bertanya tentang Fattah.

Aku mengangguk, karena di dalam mulutku masih ada nasi yang menyulitkan aku untuk bicara.

"Masih kok, Ma. Kemarin juga kan aku pulang diantar sama Mas Fattah. Cuma emang belakangan dia enggak bisa mampir karena lagi ada project," kataku setelah berhasil menelan nasi goreng buatan Mama.

Mama mengangguk lega. Sepertinya Mama mengkhawatirkan hubungan ku dengan Fattah hanya karena Fattah yang sudah jarang datang ke rumah.

Padahal setiap kali mengantar atau menjemput ku, Fattah selalu menawarkan diri untuk turun dan menyapa Mama dan Papa tapi aku sendiri yang melarangnya.

Bukan apa-apa, tapi aku sangat tahu bagaimana Mama dan Papa jika mengobrol dengan orang yang mereka suka. Keduanya akan lupa waktu dan itu akan menyulitkan Fattah. Jadi aku pikir, lebih baik untuk tidak usah mampir saja.

"Kalian kan udah tunangan, kapak rencana mau menikah? Jangan ditunda terlalu lama. Dulu waktu jamannya Mama, kalau habis tunangan ya beberapa bulan atau bahkan beberapa minggu setelahnya pasti langsung merencanakan pernikahan."

Aku nyaris memutar bola mata saat mendengar omongan Mama. Mama selalu saja menyamakan apa yang ada sekarang dengan jaman Mama dulu yang jelas akan sangat berbeda.

"Udah ada obrolan soal itu kok, Ma. Cuma memang sekarang belum bisa dipastikan karena Mas Fattah juga masih ada beberapa project yang harus dia selesaikan," jawabku. Aku tidak bohong karena memang kenyataannya seperti itu.

Masalah pernikahan, aku dan Fattah sudah sering kali membicarakan nya karena baik aku dan Fattah sama-sama berkomitmen untuk menuju kesana. Hanya saja memang belakangan Fattah sedang sibuk-sibuknya dengan project baru yang dia pegang sehingga aku pun agak segan untuk membahasnya dengan sangat serius.

"Ya coba kamu bicarakan kira-kira kapan Fattah akan datang bersama dengan keluarganya. Pakde sama Bukde mu di Jawa juga sering menanyakan soal ini. Katanya, kapan kamu akan menikah? Mereka kan tahu kalau kamu sudah bertunangan."

Kali ini aku menghela napas sambil melirik ke arah Papa. Papa hanya tersenyum tipis, seakan meminta ku untuk memaklumi saja perkataan Mama yang seperti itu.

Bagaimana pun, Mama adalah seperti wanita kebanyakan yang begitu mementingkan ucapan orang lain. Apalagi itu adalah ucapan dari keluarganya sendiri yang aku akui, memang rempong dan julid nya bukan main.

"Iya, Ma. Nanti kalau sudah ada waktu pas dan Mas Fattah sedang senggang, Alen pasti omongin lagi sama dia. Kalau perlu nanti Alen suruh dia main kesini biar Mama bisa ngomong langsung."

Mamaku langsung mengangguk dengan cepat.

"Bagus itu. Memang lebih bagus kalau Fattah main kesini biar Mama dan Papa yang langsung ngomong sama dia. Kamu atur waktunya supaya dia bisa main kesini ya?"

Aku ikut mengangguk. Di kepalaku sudah terancang untuk membawa Fattah ke rumah di hari minggu, tapi sayangnya setiap hari minggu Mama akan ada arisan dengan ibu-ibu komplek sehingga rasanya percuma saja membawa Fattah saat Mama tidak ada.

Ah, soal itu biar aku pikirkan lagi nanti. Apalagi aku mulai kelabakan setelah melihat jam dinding yang ada di ruang makan ini. Siapa sangka bahwa saat ini dua puluh menit menuju jam delapan pagi?

Bisa-bisa aku terlambat.

"Alen berangkat kerja dulu ya!" pamit ku sambil berdiri dan menyambar tas kerjaku.

Namanya, KalendraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang