2.Fattah

21 1 0
                                        


"Aku udah pesenin Laksa buat kamu. Suka kan?"

Aku berbinar senang. Pasalnya aku memang menyukai banyak hal yang berbahan dasar mie namun ironisnya aku memiliki sakit lambung yang kadang lumayan parah saat kambuh sehingga keluargaku menjauhkan aku dengan segala hidangan berbahan mie. Dan Fatah ketularan tabiat mereka, dia hanya mengizinkan aku makan mie dua kali dalam satu bulan.

"Minumnya boleh aku pilih sendiri?" tanyaku dengan semangat.

Senyum yang berhasil menambah ketampanannya menjadi berkali-kali lipat itu masih bertahan ketika dia mengangguk. Dia mengangkat tangannya, memanggil seorang waiter mendekat.

"Saya mau tambah minumannya," ujarnya. Lalu matanya itu mengerlig penuh ke arah ku. "Apa minumnya?"

Aku sontak langsung menghadap ke arah waiter yang sudah siap dengan kertas di tangannya.

"Lemon squash," kataku.

Sempat kulihat Fatah melotot mendengar pilihan ku, yang kemudian hanya aku balas dengan menyengir lebar hingga dia hanya bisa menggelengkan kepalanya.

"Nanti gimana kalau sakit kamu kambuh?" tanyanya terdengar khawatir.

Aku malah senyum-senyum dibuatnya, Fatah benar-benar tidak cocok jika dijadikan pacar. Tapi dia sangat cocok kalau dijadikan suami. Hihi

"Kan ada Mas Fatah yang siap jagain aku kalau aku sakit," ujarnya dengan nada manja.

Sumpah ya! Aku geli sebenarnya harus bersikap seperti ini, berucap dengan nada manja dan mendayu-dayu. Namun karena aku hanya melakukannya dengan Fatah, jadi aku baik-baik saja. Walaupun kadang kalau dipikir lagi, aku jadi malu juga walaupun hanya sedikit.

Fatah tampak menghela napas, melepas kaca matanya yang berembun.

"Engga begitu dong, walaupun aku bisa jagain kamu, yang kesakitan kan tetap kamu. Aku mana bisa ngerasain sakit yang kamu rasain, jadi kamu harus bisa jaga diri kamu sendiri."

Aku terkikik. Satu hal lagi tentang Fatah adalah dia ini bisa jadi sangat cerewet jika sesuatu tidak sesuai dengan keinginannya. Untungnya aku tahu betul apa yang dia suka dan apa yang tidak dia suka, begitu juga dengan Fatah.

"Habis ini masih harus balik ke kantor kan?" tanyaku. Aku mengambil satu lembar tisu dan mengusap tanganku yang terasa lengket. Kenapa lengket ya? Padahal setahuku, aku tidak memegang apapun yang dapat membuat lengket.

Fatah mengangguk.

"Iya, aku ada urusan sama Imelda. Dia baru gabung sama project baru, dan aku diminta buat jadi pembimbing dia. Mungkin jam tujuh malam aku baru bisa pulang, itu artinya aku engga akan bisa jemput kamu. Engga apa-apa kan?"

Tanpa ragu, aku mengangguk.

Aku sudah mengenal Imelda. Dia junior Fatah di kantornya yang kadang juga ikut makan siang bersama kami karena dia tidak pandai bergaul, alias dia tidak punya teman. Anaknya memang pendiam, dan juga sangat pemalu sehingga ketika bersama dengan kami pun dia biasanya lebih banyak mendengarkan daripada ikut masuk dalam pembicaraan kami.

"Aku bisa pulang naik ojek, atau bareng sama Kale," jawabku kemudian.

Sama seperti ku, Fatah juga langsung mengangguk dengan senyum tipis. Fatah juga sudah mengenal Kale dengan baik, makanya dia tidak keberatan kalau aku sesekali pulang bersama dengan anak itu mengunakan bus atau angkutan umum. Seringkali aku sengaja memesan taksi online dan memaksa anak kolot itu untuk ikut denganku.

"Nah, makan dulu," ujarnya ketika pesanan kami datang.

Aku bagai anak yang kelaparan saat berhadapan dengan Laksa. Harumnya saja sudah membuat aku ingin berteriak, aku sudah sangat merindukan makanan seperti ini. Mie adalah jalan ninja ku dan nama tengahku. Sayangnya mie adalah musuh terbesar lambung ku, karena dia langsung berulah setiap kali aku makan makanan sejenis ini.

Namanya, KalendraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang