Penangkal Teror 2

5.4K 414 3
                                    

Teror Arwah Gentayangan #8

Hari mulai terang, beberapa warga nampak sudah mulai beraktifitas di luar rumah.
Aku dan Dina pamit kepada Mbok Nah untuk melanjutkan pekerjaan kami.

"Jangan lupa nanti sore selepas Ashar, kalian datang lagi kesini."

"Kami usahakan ya Mbok? Semoga tidak ada halangan." Dina menjawab seraya mencium tangan keriput Mbok Nah.

"Aamiin,"

Aku dan Dina meninggalkan pekarangan rumah Mbak Nisa, tanpa sempat berpamitan kepadanya.
Mbak Nisa mengamuk dan memutuskan masuk ke dalam kamar, meninggalkan kami berempat. Sementara Mbak Sari, ia memutuskan pulang setelah tercapai kesepakatan dengan Mbok Nah.

Kini Aku dan Dina telah sampai di warung Mbak Ida.
Hanya Dina yang turun untuk mengantarkan bahan jamu.
Aku memutuskan menunggu di atas motor karena risih di tempat Mbak Ida banyak ibu-ibu yang sedang berkerumun.

"Eh, Din. Kata Sari, nanti sore kalian mau ke makam Rian untuk lihat biji yang di tabur itu tumbuh atau tidak ya?" Tanya salah satu perempuan yang ada di sana.

"Iya,"

Dina nampak malas menjawab pertanyaan perempuan itu.

"Aneh-aneh aja sih! Itu perempuan tua. Ya mana ada kacang sangrai bisa tumbuh, sekalipun arwah Rian gentayangan!" Ucap salah seorang lagi.
Ucapannya mengundang gelak tawa semua orang yang ada di sana, kecuali Aku dan Dina. 
Suara tawa mereka sangat nyaring sampai membuat gendang telingaku gatal.
Bahkan Mbak Ida sampai ke luar dari dalam rumahnya, yang menyatu dengan warung.

Beberapa orang masih saja menertawakan apa yang akan dilakukan Mbok Nah nanti sore.
Mereka mengaku telah melihat sendiri penampakan arwah Rian, jadi tidak perlu pembuktian apapun.

"Hush!! Bubar ibu-ibu, jangan gosip di sini. Masih pagi!"

Mbak Ida mengusir ibu-ibu yang numpang bergosip di warungnya itu.

"Ini Mbak, jamu-jamuannya." Ucap Dina seraya meletakan beberapa kantong plastik bahan jamu yang dibawanya.

Kini semua Ibu-ibu gosip itu telah pergi dari warung Mbak Ida.‎

"Iya, Din. Terimakasih." Jawab Mbak Ida.

"Saya pamit dulu ya, Mbak."

"Tunggu sebentar, Din. Mbak mau nanya sedikit," sergah Mbak Ida.

Mbak Ida sepertinya ragu untuk bertanya kepada Dina.

"Gini, Din. Ehm ...,"

"Iya, Mbak. Kenapa?"

"Maaf sebelumnya. Apa benar arwah Rian itu gentayangan?"

Dina nampak sangat terkejut dengan pertanyaan Mbak Ida. Dina menoleh ke arahku, seakan meminta ijin untuk menceritakan hal seram yang pernah kami alami.

Aku mengangguk tanda setuju.
Mbak Ida mempersilahkan kami untuk masuk ke dalam rumah.‎
Aku dan Dina mengekor ke arah ruang tamu.
Kami duduk bersebelahan setelah sang tuan rumah telah mempersilahkan.
Mbak Ida duduk di bangku kecil yang ada di depan kami.

"Jadi gini Mbak. Sebenarnya,"

Cerita itu mengalir dari mulut Dina.
Seakaan tidak berkedip, Mbak Ida begitu menyimak apa yang diceritakan oleh Dina.

Setelah Dina selesai dengan ceritanya, kini giliran Mbak Ida.

"Sebenarnya, aku juga sama pernah melihat arwah Rian Din. Aku lihat ia di jalan sana."

Mbak Ida menunjuk arah perkebunan tebu.
Menurut Mbak Ida, Rian meminta tolong kepadanya.
Namun Mbak Ida juga bingung, pertolongan seperti apa yang bisa di lakukan.

"Apa nanti sore aku bisa ikut ke makam Din? Sekalian ajak pak ustad, barangkali beliau punya solusi."

Aku dan Dina tidak bisa memutuskan, karena kami tidak punya wewenang.
Dina menyarankan agar Mbak Ida bertanya langsung kepada Mbok Nah.

Matahari semakin meninggi saat aku dan Dina meninggalkan rumah Mbak Ida.

"Sebenarnya kenapa ya, Mas? Arwah Rian bisa bergentayangan?" tanya Dina saat di perjalanan pulang.

"Mas enggak tau, Dek."

"Apa karena ia jadi korban tabrak lari ya, Mas?"

"Sudahlah, Dek. Kita doakan saja yang terbaik, semoga pelakunya bisa tertangkap dan arwah almarhum tenang."

"Iya Mas. Aamiin, tapi aku masih penasaran Mas. Apa ada penyebab lain, kenapa almarhum gentayangan meneror warga."

"Jangan berpikir yang macam-macam, Dek. Kita lihat saja nanti sore seperti apa,"

"Iya, Mas."

Saat kami melintasi jalan di depan rumah Mbak Nisa, rumah itu nampak sepi.

Samar-samar aku melihat sosok almarhum Rian di pantulan kaca jendela rumah Mbak Nisa.
Rian berdiri membelakangi kami, di halaman rumahnya namun dari pantulan kaca ia menatap kami.
Seketika aku sangat merinding dibuatnya.

Bersambung...

Teror Arwah Gentayangan (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang