Semakin Mencekam

7.2K 511 5
                                    

Teror Arwah Gentayangan #3

Adzan subuh berkumandang saat aku dan Dina tiba di rumah.
Ku urungkan niatku untuk segera bertanya tentang hal-hal yang menurutku tabu di pemakaman Rian tadi, karena aku dan Dina harus segera bersiap menunaikan salat subuh.

"Biar ku tanyakan nanti saja," batinku.
Aku segera pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri, begitu juga dengan Dina tetapi karena kamar mandi di sini hanya ada satu jadi kami harus bergantian.
Walau sudah menjadi suami-istri, aku dan Dina merasa aneh jika harus mandi bersama.

"Ah ... segar sekali!" ucapku saat keluar dari kamar mandi.
"Sudah selesai Mas, mandinya?" tanya Dina yang kini tengah duduk di ruang makan.
Ruang makan kami memang berada berdekatan dengan dapur dan kamar mandi.

"Sudah," jawabku sembari tersenyum.
"Ya, sudah. Sekarang giliranku mau mandi, nanti kita salat berjamaah di rumah ya Mas?"

Dina berlalu ketika ku telah menjawab dengan anggukan kepala.

Matahari bersinar sangat cerah, sinarnya yang terang menyelinap masuk dari celah horden jendela kamarku. Begitu menyilaukan hingga aku terbangun.
Tidak seperti biasanya, pagi ini aku melanjutkan tidur selepas salat subuh.
Badanku rasanya sakit semua, bahkan rasa kantuk tidak bisa ku tahan hingga akhirnya ku putuskan untuk tidur.
"Sudah jam delapan," gumamku saat melihat jam yang ada di dinding.

"Kemana Dina?" tanyaku dalam hati saat Dina tidak ku temukan di segala penjuru rumah.
Ku putuskan untuk mencari Dina di halaman depan.
Nampak di kejauhan Dina berjalan memasuki halaman rumah.

"Assalamualaikum,"

"Waalaikumsalam. Kamu dari mana, Dek?" tanyaku

"Ini Mas, habis nganterin empon-empon sekaligus belanja sayur ke warungnya Mbak Ida."

Dina memang sangat telaten, ia memanfaatkan halaman rumah yang luas untuk menanam berbagai jenis empon-empon seperti jahe, kunyit, bengle, temulawak, dan kencur.
Banyak pedagang warung dan jamu keliling yang berlangganan bahan jamu kepada Dina.

"Mas sudah sarapan?"

Aku menggeleng.
Dina mengajakku untuk menyantap sarapan yang telah ia siapkan.
Hening, hingga kami menyelesaikan sarapan kami.

"Dek, Mas mau nanya." Ucapku membuka obrolan. Kali ini tidak mungkin aku tunda lagi untuk bertanya kepada Dina.

"Semalam saat jenazah Rian hendak di kafani, aku lihat Mbok Nah mencucukan paku ke kaki almarhum. Itu tujuannya apa ya?"

"Oh, itu. Itu biar arwah almarhum enggak gentayangan, Mas."

"Maksudnya?"

"Jadi orang sini percaya kalau seseorang meninggal secara tidak wajar, pasti arwahnya akan bergentayangan. Salah satu cara yang orang sini percaya agar arwahnya tidak bergentayangan ya dengan mencucukan paku ke telapak kaki jenazah,"

Tiba-tiba hawa dingin menerpa hingga rasanya membuat rambut disekujur tubuhku berdiri. Merinding.

"Satu lagi, kenapa waktu itu Mbok Nah menabur sesuatu ke atas makam almarhum. Sepertinya bukan bunga,"

"Memang bukan bunga Mas. Mbok Nah menaburkan biji-bijian seperti jagung, kacang hijau, dan kacang tanah yang telah di sangrai. Tujuannya sama, agar arwah almarhum tidak gentayangan."

Gedubraakkk!!!

Sebuah suara mengagetkan aku dan Dina.
Obrolan kami seketika terhenti.
Aku dan Dina pergi mencari sumber suara yang sepertinya dari arah depan.

"Vas bunganya jatuh, mas."

"Mungkin ulah kucing, Dek."

Sejauh mata memandang tak ku temukan se ekor kucing ataupun tikus di dalam rumah ini.
Entah mengapa Vas itu bisa terjatuh.

"Mungkin tertiup angin." Batinku.

"Mas, tadi di warung Mbak Ida banyak orang ngomongin tragedi kecelakaan Rian. Kabarnya Rian menjadi korban tabrak lari."

"Kasian anak itu," Ucapku tulus meski aku tak mengenalnya.

"Iya, Mas. Mbak Nisa dan Mbok Nah juga kasian sekali, kelihatan sedih banget."

"Pasti lah Dek, namanya ditinggal orang yang di sayang. Apalagi ini kejadiannya begitu mendadak."

"Semoga almarhum Rian tenang di sana,"

"Aamiin,"

Sore hari. Matahari mulai turun, cahayanya oren kemerahan pertanda akan segera tenggelam.

Aku dan Dina memutuskan untuk pergi ke kota untuk membeli beberapa keperluan.
Saat melewati rumah Mbak Nisa nampak beberapa galah terpasang bagai pagar di bekas tempat mensucikan jenazah, lengkap dengan bohlam kecil yang menggantung.
Hal seperti ini rupanya sudah biasa di kampung ini, tujuannya sebagai penanda bahwa di tempat itu ada yang meninggal belum genap 7hari.

Aku melajukan motorku dengan hati-hati, karena jalan yang rusak dan berlubang.
Ini adalah jalan menuju pemakaman, satu-satunya jalan menuju ke kota.
"Itu Mbak Nisa Mas. Dari mana ya?"
Pandanganku mengikuti arah jari Dina menunjuk.‎
"Benar itu Mbak Nisa," jawabku dalam hati.
Mbak Nisa datang dari arah berlawanan dengan kami, sepertinya Mbak Nisa hendak pulang. Entah dari mana.‎

"Loh, kok malah belok ke makam. Mau apa ya Mbak Nisa, Mas?"

Bersambung...‎

Teror Arwah Gentayangan (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang