Dimulainya Teror

8.3K 577 6
                                    

Teror Arwah Gentayangan #2

Rangkaian proses di lakukan sebelum jenazah siap di makamkan.
Kali ini beberapa orang dari kerabat almarhum bertugas mensucikan jenazah.
Sementara di luar tenda para pelayat sibuk menenangkan Mbak Nisa yang terus-terusan meraung, manangisi kepergian anak semata wayangnya.

Sedangkan diriku masih diliputi dengan perasaan heran kenapa wajah almarhum sama persis dengan anak laki-laki yang aku lihat di dekat sumur tadi.
Mungkinkah itu arwah almarhum?
Membayangkannya membuatku merasa ngeri sendiri.
"Udah ah, enggak boleh mikir macam-macam," Batinku.

Kini pandanganku beralih ke perempuan tua yang duduk menepi menjauhi kerumunan.
Mbok Nah, pandangannya kosong menatap lurus ke depan.‎
Tidak jauh berbeda dengan Mbak Nisa, nenek almarhum juga tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Sesekali Mbok Nah nampak menyeka sudut matanya dengan ujung kain jarik yang beliau kenakan.

Di iringi dengan sholawat, jenazah kembali di bopong masuk ke dalam rumah untuk selanjutnya di kafani.
Seseorang yang bertugas mengkafani memanggil keluarga dan kerabat almarhum untuk melihat jenazah untuk yang terakhir kalinya.
Lagi-lagi Mbak Nisa jatuh pingsan saat melihat wajah anaknya itu.
Berbeda dengan Mbak Nisa, Mbok Nah nampak lebih tegar.
Beliau memandang lekat wajah cucu kesayangannya itu.

"Yang tenang ya, Rian." bisik Mbok Nah di depan jenazah.

Entah apa yang dilakukan Mbok Nah, beliau membawa sebuah paku dan mencucukannya ke telapak kaki almarhum. Bukan untuk melukai, hanya sedikit menekan ujung paku ke bagian telapak kaki jenazah.
Semua orang nampak biasa saja, dengan apa yang dilakukan Mbok Nah.

"Mungkin kebiasaan orang sini, biar nanti aku tanyakan maksud semua itu, kepada Dina." Batinku.

Walau begitu, tetap saja masih asing dan tabu bagiku.
Tidak pernah aku temui di daerah tempat tinggalku, mencucukan paku ke kaki jenazah.

Jenazah telah selesai di kafani, dan akan segera di bawa ke masjid untuk di salatkan.
Dina tidak ikut ke pemakaman karena harus ikut menunggui Mbak Nisa yang belum sadarkan diri bersama beberapa ibu-ibu yang lain.

Setelah jenazah di salatkan, para pelayat lanjut mengantarkan jenazah ke tempat peristirahatan yang terakhir.
Kulirik jam yang melingkar di pergelangan tanganku
"Hampir pukul satu," gumamku.
"Jam berapa, Mas?" tanya seorang di sampingku.
"Jam satu kurang sepulu menit Mas," jawabku.

Sempat terlintas di benakku, kenapa tidak di makamkan esok hari?
Namun rasa penasaranku terjawab oleh penuturan seorang pelayat yang barusan bertanya jam padaku.
Di kampung ini, jika ada orang yang meninggal karena kecelakaan harus segera di makamkan. Selain karena kasihan kepada keluarga agar tidak berlarut dalam kesedihan, mensegerakan pemakaman jenazah adalah hal terbaik untuk almarhum.

Jarak antara Masjid ke Pemakaman cukup jauh.
Kini kami harus melewati kebun tebu yang cukup luas, di sepanjang jalan hampir tidak ada penerangan sama sekali.
Beruntung setiap dari kami membawa penerangan sendiri, ada yang membawa obor dan sebagian lagi membawa senter termasuk aku.

Langkah kami terhenti karena terhalang hembusan angin yang cukup kencang.
Semua obor mati, tersisa beberapa senter dari para pelayat.

Hukkkk ... Hukkkk ... Huuuukkkk ...

Suara burung hantu mengiringi langkah kami, membuat suasana semakin mencekam.

Kebun tebu ini memang luas, saat siang hari aku sering melaluinya tapi entah mengapa perjalanan yang kami tempuh sekarang terasa lebih lama dari biasanya.

Gongongan Anj*ng semakin menambah keseraman pemakaman almarhum Riyan.
Tidak ada yang bersuara diantara kami semua para pelayat, hingga tibalah kami di gapura pemakaman umum desa kami.

Di tengah-tengah makam nampak beberapa orang mengitari liang Lahat dengan beberapa lampu petromak. Di sinilah jenazah almarhum Rian akan dikuburkan.

Semua berjalan dengan lancar, tanpa kendala walau prosesi pemakaman hanya menggunakan penerangan seadanya.

"Aamiin ...," ucap para pelayat serentak setelah Bapak Imam Masjid selesai mendoakan almarhum.

Kami semua dipersilahkan untuk pulang ke rumah masing-masing.
Sebelum aku beranjak, Dina datang menghampiriku.
Bersama dengan Dina, Mbak Nisa dan Mbok Nah juga datang dengan membawa obor.

Ku urungkan niatku untuk pulang ke rumah, karena aku tidak bisa meninggalkan Dina yang kini tengah memapah Mbak Nisa.
Mbok Nah nampak berjongkok, menabur sesuatu ke atas makam cucunya tetapi bukan bunga.
Sekilas aku melihat seperti biji-bijian, entah apalagi maksud dari yang dilakukan Mbok Nah.

Waktu berlalu, tidak terasa waktu subuh hampir tiba.
Kami semua memutuskan untuk kembali ke rumah, beruntung Mbak Nisa tidak lagi jatuh pingsan.

Ingin rasanya aku segera tiba di rumah, tidak sabar ingin bertanya kepada Dina tentang maksud dari yang di lakukan Mbok Nah.

Bersambung...

Teror Arwah Gentayangan (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang