Siapa Pelakunya?

4.6K 397 8
                                    

Teror Arwah Gentayangan #17

"Dek! Ayuk, antar Mas ke rumah Mbak Sari."

Dina masih saja bergeming meski aku telah beberapa kali mengulangi ucapanku.

"Tapi, Mas."

Tergambar jelas keraguan di wajah Dina.
Terlebih setelah ia mengamatiku, dari ujung rambut hingga ujung kaki. Sepertinya Dina sangat mengkhawatirkan kondisiku.

"Kondisi kamu bagaimana, Mas?" lanjutnya.

"Mas enggak apa-apa. Mas yakin sudah sanggup berjalan," jawabku.

Dina menarik nafas dalam, sebelum akhirnya menuruti permintaanku.

Aku menunggu Dina memastikan semua jendela dan pintu tertutup dan tidak lupa mengunci semuanya.

"Sudah, Mas." ucapnya sembari memasukan kunci ke dalam saku.

"Ayuk, Dek. Kita pergi ke rumah Mbak Sari sekarang." Ajakku.

"Hati-hati, Mas."

Dina meraih lenganku, lalu mengamitnya.

"Jalannya pelan-pelan saja, Mas."

"Iya, Dek."

Sebenarnya aku tidak begitu menghiraukan saran dari Dina.
Aku mencoba berjalan secepat yang aku mampu, walau sebenarnya jika dalam kondisi sehat aku bisa lebih cepat dari ini.

Sepanjang perjalanan, kami berpapasan dengan beberapa orang yang sepertinya dari rumah Mbak Sari juga.

"Kasian ya, Ikmal. Entah bisa sadar atau tidak." Ucap seorang perempuan kepada dua orang yang bersamanya.

"Iya, Kasian ya."

Seseorang yang berada di sampingnya menimpali.

"Memang bagaimana kondisi Ikmal, Dek?" tanyaku kepada Dina.

"Ikmal ketemu jam 3, pagi tadi Mas. Tetapi, berulangkali Ikmal kerasukan dan sampai sekarang belum sadar."

"Kerasukan bagaimana?"

"Jerit-jerit gitu Mas. Mengerang kesakitan, dan beberapa kali pingsan juga."

"Astagfirullah. Pak Ustad sudah dikabari, Dek?"

"Sudah, Mas. Malah Pak Ustad semalam ikut membantu pencarian."
Aku mengangguk, mengerti.

Tidak terasa, kami hampir sampai di rumah Mbak Sari.

"Itu Mbok Nah dan Mbak Nisa, Mas."

Aku mengikuti arah jari telunjuk Dina.
Rupanya benar, Mbak Nisa dan Mbok Nah juga datang kerumah Mbak Sari.
Kami sampai bersamaan.

Mbok Nah mewakili kami mengucap salam, yang seketika mendapat jawaban dari orang-orang yang ada di rumah Mbak Sari.
Ramai sekali sampai beberapa orang harus duduk di luar.
Beberapa orang saling berbisik.
Beberapa yang lain menatap sinis ke arah kami. Mungkin lebih tepatnya ke arah Mbok Nah dan Mbak Nisa.
Lirih terdengar, beberapa orang membicarakan tentang kejadian tadi malam.

"Mereka kok berani kesini. Ini semua kan gara-gara Rian," Ucap salah seorang yang tengah berdiri di dekat pintu.

Mbak Nisa nampak tidak nyaman.
Kedua tangannya mengepal, dan matanya menatap tajam ke orang-orang yang tengah menggunjing almarhum anaknya.

"Sudah, Nis. Istigfar," Ucap Mbok Nah yang sepertinya menyadari kemarahan Mbak Nisa.

Tangan Mbok Nah meraih telapak tangan Mbak Nisa. Mengelus, dan sesekali menepuk-nepuk punggung tangan itu.
"Sabar," Ucap Mbok Nah.

Mbak Nisa menarik nafas dalam, dan menghempaskannya dengan kasar.

Akhirnya kami berempat memutuskan untuk masuk ke dalam Rumah Mbak Sari.

Saat kami berada di ruang tamu, kami melihat Ikmal yang tengah terkulai pingsan di tikar ruang tengah.
Beberapa orang mengelilingi Ikmal yang masih belum sadarkan diri.

Tidak jauh berbeda dengan anaknya, kondisi Mbak Sari juga cukup memprihatinkan.
Mbak Sari nampak terduduk bersandar di dinding tak jauh dari anaknya.
Kepalanya mendongak ke atas, dengan mata yang terpejam, mulutnya terus mengucapkan nama anaknya.

Lagi, Mbok Nah menguluk salam.
Namun kali ini bukan jawaban yang kami terima.
Semua orang yang ada di ruangan itu seketika menoleh, namun aku bisa merasa kalau mereka kurang bersahabat dengan kedatangan kami.

Salah satu perempuan yang kini tengah menjaga Mbak Sari berdiri.
Amarah tidak bisa disembunyikan pada raut wajahnya.
Dengan tangan mengepal, beliau berjalan cepat ke arah kami.

"Mau apa kalian, hah?! Puas kalian melihat keponakanku sekarang?" ucapnya.

Rupanya perempuan itu adalah salah seorang kerabat Mbak Sari.
Ia amat murka saat menyadari kehadiran Mbok Nah dan Mbak Nisa.

Belum sempat kami menanggapi, kami semua dikejutkan oleh tubuh Ikmal yang tiba-tiba mengejang.
Matanya terbuka, namun tatapannya kosong.

"Ikmal!"

Mbak Sari menjerit dan langsung menghampiri tubuh anaknya itu.

"Ikmal. Sadarlah, Nak."

Mbak Sari memeluk erat tubuh Ikmal, namun sesaat kemudian Ikmal mendorong tubuh Mbak Sari.
Ia beringsut menjauh, mendekati tembok.
Ikmal duduk dengan memeluk kedua lututnya, dan membenamkan wajahnya di sana.

"Ikmal," panggil Mbok Nah.

Seketika Ikmal mendongak, dengan mata yang sayu ia menoleh ke arah Mbok Nah dan Mbak Nisa.
Ikmal hanya diam.
Sesekali terdengar lirih isakan. Cukup lama Ikmal dan Mbak Nisa saling tatap. Sampai akhirnya Mbak Nisa berjalan mendekati Ikmal. Tatapan mereka seakan mengisyaratkan kerinduan.

Dengan tetap saling berpandangan, Mbak Nisa duduk disamping Ikmal.
Tidak ada penolakan saat Mbak Nisa memeluk tubuhnya, bahkan Ikmal semakin dalam membenamkan wajahnya didada Mbak Nisa.

"Ri ..., Rian." Ucap Mbak Nisa ragu.

Kami semua saling berpandangan. Menatap heran ke arah Mbak Nisa dan Ikmal.
Bahkan Mbak Sari diam mematung menyaksikan ini semua.

"Rian,"

Mbak Nisa kian tergugu, begitu juga dengan Ikmal. Ikmal tidak berkata apapun, namun pundakny bergetar seiring isakan yang semakin keras terdengar.

"Ibu mohon, Rian. Jangan seperti ini,"

Ikmal menarik tubuhnya, menatap lekat wajah Mbak Nisa.

"Apapun urusan kamu yang belum selesai Di Dunia ini, Ibu janji akan membantumu untuk menyelesaikan. Ibu janji,"

Ikmal menunduk. Sebulir bening nampak menetes dari matanya.

"Tenanglah, Nak. Jika Ikmal ada salah denganmu, Maafkan."

Ikmal kembali menatap Mbak Nisa.
Kini kami semua bisa melihat, seulas senyum pada bibir Ikmal yang kering.
Sampai akhirnya tubuh Ikmal kembali luruh ke lantai.
Ia tak sadarkan diri.

Jeritan Mbak Sari dan kerabat serta tetangga, pecah.
Suara tangis meggema di rumah Mbak Sari.

Bersambung...‎

Teror Arwah Gentayangan (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang