Teror Arwah Gentayangan #18
Semua orang di sini menangis melihat kondisi Ikmal.
Mbak Nisa nampak membekap mulutnya sendiri, seakan tidak percaya dengan apa yang baru ia alami.
"Rian," gumamnya.
Perlahan Mbak Nisa melangkah mundur menjauhi tubuh Ikmal yang kini berada dalam dekapan Ibunya.
Mbak Sari meraung, manangisi putra semata wayangnya itu.
"Tidak apa-apa, Ikmal hanya pingsan. Sudah tidak ada 'gangguan' di tubuhnya. Kita doakan semoga Ikmal lekas sadar," Terang Pak Ustad setelah memeriksa Ikmal.
"Aamiin,"
Serempak kami semua mengamini doa Pak Ustad.
Adzan dzuhur berkumandang.
Beberapa orang memutuskan untuk membubarkan diri, sementara yang lain memilih untuk tetap tinggal.
Begitu juga denganku.
Pak Ustad mengajakku untuk ikut berjamaah ke Masjid.
Dina meminta ijin untuk tetap berada di rumah Mbak Sari, ikut menunggui kalau-kalau Ikmal tersadar nanti.
Matahari sangat terik, saat aku dan Pak Ustad keluar dari Masjid seusai menunaikan empat rakaat wajib.
"Apa ada petunjuk baru, Mas Dimas?"
Sesaat aku terdiam, mencerna pertanyaan Pak Ustad.
"Soal almarhum Rian, Mas." Lanjut Pak Ustad.
Bukan aku tidak tau maksud dari pertanyaan Pak Ustad, tetapi aku bingung bagaimana harus memulai cerita tentang apa yang aku lihat didalam mimpi.
"Anu, Pak Ustad. Sepertinya seseorang yang sudah memeras jeruk nipis di atas bekas darah ditempat kecelakaan itu adalah Ikmal."
Pak Ustad mengangguk, tanpa ada sedikitpun raut terkejut di wajahnya.
"Baik, kalau begitu kita tunggu Ikmal sadar. Kita dengar bersama penjelasan darinya," Ucap Pak Ustad.
"Baiklah, Pak Ustad."
"Mari kita kembali ke rumah Mbak Sari, Mas."
Akhirnya aku dan Pak Ustad memutuskan untuk segera kembali ke rumah Mbak Sari.
Bukan hanya kami berdua, tapi ada beberapa bapak jamaah Masjid.
"Mas! Pak Ustad!" Teriak Dina dari kejauhan.
Tangannya melambai sembari berlari ke arah kami.
Karena berlari terlalu kencang, Dina hampir saja terjatuh.
Beruntung, kedua tanganku berhasil meraihnya sebelum tubuhnya tersungkur ke tanah.
"Ada apa, Dek?" tanyaku heran.
Dina tersengal. Nafasnya tidak beraturan, sampai beberapa kali ia terbatuk-batuk.
"Ikmal, Mas!"
"Ikmal kenapa?"
Sebersit rasa cemas menghampiri.
"Ikmal, sudah sadar."
"Alhamdulilla," Ucap kami serempak.
"Tapi,"
"Tapi kenapa, Dek?"
Dina tidak langsung menjawab.
Ia nampak kebingungan.
"Kita lihat langsung saja kesana, Mas." saran Pak Ustad.
Gegas kami semua pergi kerumah Mbak Sari untuk melihat kondisi Ikmal.
Saat kami tiba, rupanya rumah Mbak Sari sudah ramai orang.
Kami memutuskan untuk langsung masuk kedalam.
Saat Pak Ustad mengucap salam, semua orang menjawab sembari memberi jalan.
Ikmal nampak tengah terduduk di tempat yang sama.
Matanya sayu, tatapannya kosong, dan mulutnya terus saja meracau.
"Maafin gue, Rian. Gue cuma iseng. maafin gue, Rian."
Kalimat itu berulang-ulang terucap dari bibir Ikmal.
Seperti orang linglung, Ikmal tidak menyahut saat dipanggil.
"Bagaimana ini, Pak Ustad?" tanya Mbak Sari.
Air mata tidak berhenti menetes dipipi Mbak Sari.
"Bawakan air satu gelas," titah Pak Ustad.
Tidak menunggu lama, seseorang memberikan apa yang diminta oleh Pak Ustad.
Pak Ustad nampak merapalkan doa pada segelas air yang ada di genggaman.
Setelah itu, Pak Ustad berjongkok di dekat Ikmal.
"Minum ini, Ikmal." Ucap Pak Ustad sembari mengulurkan segelas air.
"Jangan lupa, baca Bissmillah." Lanjut Pak Ustad.
Karena Ikmal masih saja tidak merespon, akhirnya Mbak Sari yang membimbingnya.
"Bissmillah," Ucap Mbak Sari sembari meminumkan air kepada Ikmal.
Jakun yang naik turun menandakan Ikmal berhasil meneguk air tersebut.
Sesaat kemudian, Ikmal seperti mendapatkan kembali kesadarannya.
Ia mengedarkan pandangan kesegala arah.
Menatap heran kepada kami semua.
"Ibu, Ikmal takut Bu!"
Seketika Ikmal menghambur kedalam pelukan Ibunya.
"Ceritakan kepada kami, Ikmal. Apa yang sudah kamu lakukan," pinta Pak Ustad langsung pada inti masalah.
Dengan takut-takut, akhirnya pengakuan itu meluncur dari mulut Ikmal.
Mbak Sari menggeleng, seakan tidak percaya dengan kelakuan anaknya.
Semua orang nampak geram dengan apa yang dilakukan oleh Ikmal.
"Iseng? Tega sekali dia!" seru seseorang.
"Dasar anak bengal!" Ucap salah seoarang lagi.
"Sudah, sudah. Yang penting Ikmal sudah mengakui dan menyesali perbuatannya. Sekarang semuanya bubar," Ucap Pak Ustad.
"Huuuu! Dasar!" seru semua orang bersahut-sahutan sebelum akhirnya membubarkan diri.
Kini hanya tinggal beberapa orang saja, termasuk aku dan Dina.
Pak Ustad menyarankan Ikmal untuk meminta maaf kepada keluarga Rian.
Karena Mbok Nah dan Mbak Nisa sudah pulang, mereka belum mendengar pengakuan Ikmal.
"Apa mereka mau memaafkan saya, Pak Ustad?" tanya Ikmal sembari menunduk.
"Mbok Nah orang yang baik, dan bijaksana. Saya yakin beliau mau memaafkan." Pak Ustad coba menenangkan.
Akhirnya, Ikmal setuju.
Dengan diantar Ibunya serta aku dan Pak Ustad, ia akan mendatangi rumah Mbok Nah dan Mbak Nisa.
"Setelah kamu mendapatkan maaf dari keluarga Rian, ada satu lagi yang harus kamu lakukan untuk menebus kesalahanmu."
"Apa itu, Pak Ustad?" tanya Ikmal.
"Nanti, Di Rumah Rian akan saya jelaskan."
Akhirnya kami memutuskan untuk segera melanjutkan perjalan ke rumah Rian.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Teror Arwah Gentayangan (TAMAT)
TerrorRian seorang anak korban perceraian yang dikenal bengal, meninggal karena kecelakaan tabrak lari. Arwahnya gentayangan dan meneror orang satu kampung, untuk mencari siapa pelaku tabrak lari itu. adakah yang bisa membantu Rian?