Titik Terang 2

4.7K 410 0
                                    

Teror Arwah Gentayangan #14

Mentari pagi bersinar sangat cerah.
Sinarnya yang hangat mengusir dingin yang sedari tadi menusuk hingga ke persendian.

"Saya titip motor ya, Bu. Besok atau lusa saya ambil. Kami pamit dulu, Bu." Ucapku tak enak hati.

Rudi dengan sangat hati-hati mulai melajukan motornya, setelah Ibu warung kembali masuk ke dalam. Sementara motorku, aku titipkan kepada pemilik warung walau sebenarnya aku sedikit tidak enak hati karena merepotkan.

Hening, tidak ada obrolan atara aku dan Rudi disepanjang perjalanan.‎
Sesekali hanya terdengar suara Rudi yang menanyakan arah rumahku, dan aku jawab dengan menjentikan jari telunjuk.‎
Hingga akhirnya kami sudah sampai di jalan masuk kampung.
Beberapa warga yang kebetulan berpapasan menyapa kami,‎ Yang hanya mendapat jawaban berupa anggukan dari kami berdua.

Akhirnya kami telah sampai di pelataran rumah.
Sebelum Rudi selesai membantuku menuruni motor, Dina muncul dari balik pintu.

"Astagfirullah! Mas kenapa?" pekiknya.

Dina berlari menghampiri kami.
Meraih tanganku dan memindai seluruh tubuhku.

"Ini kenapa?! Kenapa sampai pincang begini?"

"Ah, anu ..., Mbak."

Rudi tergagap menjawab pertanyaan Dina. Sepertinya ia takut melihat amarah yang siap meledak dari Istriku.

"Sudah, kita masuk dulu saja Dek. Nanti Mas jelaskan," jawabku.

Rasanya tidak nyaman saat keributan kecil ini disaksikan beberapa pasang mata yang kebetulan melintas.‎

Kini Dina mengambil alih memapahku, meninggalkan Rudi yang mematung dibelakang.

"Mari Mas Rudi, masuk." ajakku.‎

Rudi mengangguk dan mengekor di belakang kami.

Kami mempersilahkan Rudi untuk duduk, tidak lupa Dina menyajikan dua gelas Teh hangat untuk kami berdua.‎

"Apa?! Ini semua karena arwah Rian? Mas jadi celaka begini karena dia?"

Dina seketika berdiri dari duduknya setelah mendengar cerita kami berdua.

"Dek,"

Ku raih lengan dina, meremasnya dengan pelan. Ku kedipkan mata sebagai isyarat agar ia kembali duduk.

"Tapi, Mas! Ini sudah keterlaluan. Salah apa kita sama almarhum?" Dina menangkupkan kedua tangannya di wajah, tangisnya pecah.

"Untung kamu masih selamat, kalau tidak?!"

Dina semakin terisak.
Aku paham ketakutannya, ia tak ingin hidup sebatangkara lagi jika sampai kehilanganku.

Ku rengkuh tubuhnya dalam pelukan.
Membelai lembut rambut dan punggungnya, agar membuatnya lebih tenang.

"Mas enggak apa-apa, Dek. Cuma luka sedikit." Ucapku menenangkan.

"Assalamu'alaikum,"

Sebuah salam menarik perhatian kami.
Dina segera menyeka air mata yang mengalir di pipi, menjawab salam seraya membukakan pintu.

"Din, kata orang yang belanja di tempatku Suamimu kecelakaan?" tanya Mbak Ida.‎

Mbak Ida datang bersama Mbok Nah dan Mbak Nisa.

"Masuk dulu, Mbak." tawarku sopan.

"Bagaimana kondisi kamu, Nak?" tanya Mbok Nah setelah masuk kedalam rumah.‎

"Saya enggak apa-apa, Mbok. Cuma luka sedikit," jawabku.

"Ini semua karena arwah almarhum Rian. Kalau ia tidak muncul tiba-tiba dan mengagetkan pengendara motor, suamiku enggak mungkin ketabrak." Dina bergumam lirih, namun suaranya masih bisa kami dengar.

"Apa katamu?! Aku dan Mbok kesini karena peduli sama Suamimu, tapi ternyata kami sudah salah datang kesini." sungut Mbak Nisa sembari menarik tangan Mbok Nah.

"Kita pulang saja, Mbok!" sambungnya.

Mbok Nah mencoba menahan Mbak Nisa.
Tidak beranjak dari duduknya, Mbok Nah meminta kami untuk menceritakan kejadian yang baru aku alami.

"Sudahlah, Mbok! Mereka pasti mengada-ada!"

"Dengar dulu, Nisa."

Akhirnya Mbak Nisa menurut dan ikut mendengarkan ceritaku.

Mbok Nah dan Mbak Ida serempak beristigfar setelah selesai mendengar cerita kami.‎
Mbak Nisa terus menggeleng, menutup mulutnya dan sesaat kemudian air matanya menetes.

"Enggak mungkin! Itu bukan Rian,"

"Lalu siapa, Mbak?! Kejadian itu terjadi di lokasi kecelakaan Rian!"

Amarah Dina semakin tak bisa disembunyikan.

"Mbak Nisa kan, yang sengaja membuat Rian gentayangan?!"

"Apa maksud kamu, Din?"

"Alah, Sudahlah Mbak. Enggak usah bohong! Mbak Nisa kan yang sengaja memeras jeruk di atas ceceran darah di lokasi kecelakaan itu?!"

Dada Dina nampak naik turun, seiring deru nafas yang semakin memburu.

"Istigfar, Dek. Kita bisa ngomong baik-baik, Dek."

"Enggak, Mas! Ini sudah keterlaluan. Kita selalu diam walau sering di gentayangi arwah almarhum. Tapi kali ini, kamu sampai celaka."

Mbok Nah mencoba menenangkan Mbak Nisa yang kondisinya tidak berbeda jauh dari Dina.

"Mbok, Maafkan Dina sudah lancang. Tapi Dina lihat sendiri, Mbak Nisa pernah membawa jeruk, bawaanya itu tumpah di atas makam, dan Dina yang membantu memunguti." Ucap Dina.

"Benar itu, Nisa? Kamu yang sengaja membuat Rian tidak tenang?"

Mbok Nah menatap lekat wajah anaknya itu.
Kami semua terdiam, menunggu jawaban Mbak Nisa.‎

Bersambung...

Teror Arwah Gentayangan (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang