01

40 10 0
                                    

🌼


Jung Jihee memejamkan kedua matanya erat, sudah siap menahan pukulan dari Jung Sang Woo, ayahnya. Tubuhnya bergetar hebat, bukan karena takut, justru karena emosi yang dia tahan.

Ayahnya sungguh gila, datang dengan langkah besar berteriak menyumpahi Jihee dengan tak tahu diri di acara pemakaman ibunya. Bahkan sama sekali tak merasa sedih atas kematian istrinya. Tak ada dosa sedikitpun yang terpancar karena merusak suasana pemakaman ibu Jihee saat ini.

Jihee kira pukulan itu akan segera menghantam tubuhnya, namun tak kunjung terjadi dalam hitungan yang Jihee rapalkan dalam hati. Itu terlalu lama untuk sebuah sapaan keras yang seharusnya sudah menyambar tubuhnya.

Merasa janggal, Jihee kembali membuka kedua mata dan pemandangan yang semakin aneh terpampang di depan mata. Tangan ayahnya yang tertahan oleh seorang pria berbadan tegap dengan wajah tegas, berpakaian rapi, dengan tatapan yang seolah menghunus ayahnya , bahkan Ji Hee dapat melihat jika tubuh Sang Woo seolah membeku juga kedua kaki yang tampak bergetar meski samar. Dikedua mata Jihee saat ini jelas terlihat jika ayahnya ketakutan.

Tak ada kegaduhan yang pada akhirnya terjadi, meski para pelayat sudah berbisik sana sini. Bahkan dengan sangat menurut Sang Woo mengikuti pria itu menjauh dari sana. Meninggalkan Jihee yang masih terduduk lemas dilantai dengan seseorang yang sejak tadi menemani di sampingnya. Mengusap lembut lengan Jihee tanpa sedikitpun mengganggu.

Hingga acara pemakaman selesai Jihee tak melihat Sang Woo kembali lagi. Disisi lain Jihee merasa sangat bersyukur, dia juga tak mengharapkan Sang Woo untuk ada disana. Itu lebih membuat tenang untuk penyembahan terakhir untuk ibunya.

Berdiri dalam diam tepat di depan makam ibunya masih ditemani seseorang yang bahkan tak menjauh dari Jihee sejak tadi.

Teman-teman dekatnya juga para pelayat sudah pulang sedari tadi. Jihee hanya ingin disana lebih lama, memperhatikan gundukan baru yang bertabur bunga dengan sebuah foto cantik yang bersandar pada nisan yang terpahat rapi nama ibunya.

Sangat tidak adil ! Raungnya dalam hati.

Tapi kenyataannya Jihee hanya berdiri bungkam, tak ada lagi air mata. Sudah berjanji dia tidak akan menangis lagi juga tak ingin membuat ibunya di surga khawatir.

Setelah merasa cukup Jihee memutuskan untuk pergi, berpamitan sejenak dan berjanji akan kembali sesering yang dia bisa untuk menceritakan keseharian Jihee seperti biasanya.

Keluar dari pemakaman masih ditemani seseorang yang sejak tadi memang tak dihiraukan tapi sangat dibutuhkan Jihee, kehadiran laki-laki dua tahun diatasnya itu memang membuatnya lebih tenang.

Kedua kaki Jihee terhenti. Sepasang netranya menangkap pemandangan yang membuatnya penasaran. Pria bertubuh tegap yang tadi membawa pergi ayahnya berdiri tak jauh di depannya, di samping mobil berwarna hitam dengan seorang pria paruh baya yang bersangga tongkat yang dia pegang sedang menatapnya, tersenyum lembut.

Ji Hee tak mengenal mereka, bahkan belum pernah melihatnya, atau mungkin sudah tapi dia tidak mengingatnya. Namun mengingat pria itu sumber ketakutan Sang Woo itu membuatnya penasaran.

"Jihee a~"

Laki-laki yang sejak tadi menemani Jihee pun membuka suara . Suara serak itu melantun lembut berniat menahan Jihee.

Jihee sedikit mendongak karena tinggi yang berbeda cukup jauh, tersenyum sayu menatap dua manik berwarna coklat terang itu, yang saat ini menatapnya khawatir.

"Oppa, bisakah oppa menunggu di mobil sebentar?"

"Tapi Jihee a~."

"Aku akan baik-baik saja." Jihee menatap lembut dengan lengkungan samar di bibir. Pada akhirnya laki-laki bernama Kim Sunghoon itu mengalah, dan membiarkan Jihee dengan kemauannya.

Dive Into YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang