"Aku tuh lagi ngomong, kamu bisa gak sih liat aku dulu sebentar"
"Kan aku bilang, tunggu dulu 5 menit" jawabnya sabar"Jadi kamu lebih milih kerjaan kamu dibanding aku?" tanyaku sukses mebuat jari jemari lentikanya berhenti bertabrakan dengan keyboard laptop miliknya
Aku bisa merasakan Jihoon menarik nafas panjang, kemudian menatapku.
"Oke kamu mau ngomong apa? Aku dengerin""Gak jadi aku udah gak mood" rajukku dan beranjak meninggalkan ruangannya
Biasanya Jihoon akan menahan ku dan kemudian meminta maaf tapi tidak untuk kali ini, sampai aku meninggalkan apartmentnya dia tidak juga mengejarku.
Aku benar benar kesal dibuatnya, apa susahnya memperhatikan ku sebentar untuk mendengarkan. Ku langkahkan kakiku dengan kasar menuju halte terdekat, dengan sedikit harapan Jihoon akan menyesal dan mengahmpiriku, namun aku salah. Sampai aku menaiki bus, Jihoon tidak juga menunjukkan batang hidungnya.
Sepajang perjelanan aku menggerutu tentang sikapnya yang menyebalkan, namun tiba tiba sisi diriku yang lain mulai mengusik rasa kesalku.
'bukankah kamu terlalu kekanakan?'
'bukankah jihoon sudah minta menunggumu 5 menit?'
'apakah sesulit itu menunggu 5 menit?'
'bisa jadi itu pekerjaan yang sangat penting?'
'Bagaimana bisa kamu minta dia memilih pekerjaannya dengan mu?'
'apa kamu tidak akan kesal jika Jihoon melakukan hal yang sama dengan apa yang kamu lakukan tadi?'
'bukankah Jihoon sudah sangat sabar menghadapi kamu yang sangat keterlaluan?'
'Bukankah sikapmu sangat kekanak-kanakan?'
Rasa bersalah kini menyelumuti perasaanku, isi kepalaku dipenuhi dengan moment moment ku bersama Jihoon. Seketika aku menyadari bahwa sikapku selama ini mungkin cukup bisa membuat Jihoon jengah.
- Childish -
Setelah membersihkan diri, kurebahkan diriku di ranjang. Memeriksa ponselku dan berharap Jihoon menghubungiku, namun tidak ada satu pesan ataupun panggilan darinya. Hal tersebut membuatku benar benar merasa bersalah, dan berpikir bahwa tingkah lakuku tadi sungguh kekanak kanakan.
Meskipun aku merasa bersalah, tapi ego ku tidak mengizinkanku untuk menghubunginya lebih dahulu. Aku memutuskan untuk beristirahat, karna saat ini isi pikiranku sudah kacau. Skenarion terburuk seketika memenuhi pikiranku, aku hanya berharap besok aku terbangun, dan semua baik baik saja.
- Childish -
Mentari pagi bersinar cerah, sinarnya yang hangat menerpa wajahku memaksaku untuk bagun. Saat ini aku belum sepenuhnya sadar, namun suara notifikasi ponsel mampu membuat aku sepenuhnya sadar. Ku raih dengan cept ponselku dari atas nakas, berharap itu adalah notifikasi dari Jihoon.
Yap, sesuai harapanku itu adalah pesan dari Jihoon. Namun isi pesannya tidak sesuai dengan apa yang aku harapkan. "Sore ini temui aku di café biasa jam 4 sore"
Lagi lagi perasaan bersalah menguasai pikiranku, aku bisa membayangkan wajah dingin Jihoon mengatakan hal tersebut. Aku sadar betul Jihoon adalah sosok pasangan yang sangat sabar mengahadapi tingkahku yang sangat menyebalkan bagi sebagian orang.
Aku sering merengek dibelikan sesuatu makanan hanya karna keinginan sesaat, namun setelah mendapatkannya aku hanya memakan nya sedikit kemudian menyuru Jihoon untuk menghabiskannya.
Saat memesan makanan, aku lebih sering tertarik dengan makanan yang di pesan Jihoon. Entah kenapa makanan yang dipesannya, selalu lebih enak. Yang pada akhirnya Jihoon akan mengalah, dan menukar makanannya dengan milikku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Woozi Imagine (one/two-shot)
FanfictionKumpulan oneshot/twoshot AU Woozi Seventeen a.k.a Lee Jihoon. Semua yang di update di sini akan di update ke twitter terlebih dahulu. Jika kamu suka dengan ceritanya, boleh klik vote nya ya. Jika ada masukan, saran, ataupun suara hati setelah membac...