8: CERITA CINTA ANAK REMAJA

448 71 29
                                    

Hari terakhir UAS, aku dan Toma setuju untuk sebelum pulang ke rumah masing-masing untuk makan siang di sebuah restoran cepat saji dekat sekolah, untuk sekadar meringankan dan hiburan untuk otak kami setelah seminggu begelut dengan banyak mata pelajaran. Sembari makan siang, kami bercengkrama seperti biasa membahas ini itu dari a sampai z. Hingga, tiba-tiba entah dari mana Toma menanyakan perihal cinta padaku.

"Kenapa ya orang seumur kita suka banget jatuh cinta, padahal oranh seumuran kita gini cintanya gak bakal berhasil gak sih?" kata Toma menyeruput minuman yang dipesan.

Mengerenyit. "Maksudnya."

"Iya yang bener aja, seumuran SMP udah pacaran. Emangnya mau ngapain? Bukanya mending pacaran kalau emang siap menikah?"

Aku menggedikkan bahu, "mungkin untuk masa perkenalan kali ya. Banyak yang bilang seumuran kita begini, cinta itu lagi manis-manisnya."

Toma mengangguk. "Benar juga. Tapi lo pernah ngersain jatuh cinta?"

Untuk beberapa saat aku termenung. "Kenapa emangnya?" kataku balik bertanya.

Toma mengerenyit. "Gue cuma pengin tau semanis apa sih. Semanis dapet ranking satu kah, atau semanis dapet nilai diatas kkm pas ada ulangan dadakan?"

Aku termenung lagi. Apakah Toma menanyakan hal ini untuk memcari informasiku denga Bone atau dia hanya ingin benar-benar tahu saja. "Tiap orang punya rasa yang manis beda-beda sih. Tapi, katanya jauh lebih manis dari yang lo sebutin."

Toma mengerutkan keningnya. "Jadi pengin ngerasain, tapi gue kayak gak ada waktu gitu."

"Lah emangnya lo sama Bone...," kataku menjeda sembari beepikir-pikir lagi untuk menyiapkan rasa sakit jika memang Toma benar-benar menyukai Bone.

"Ah, kemakan gosip lo, Dek," katanya menyeruput minuman.

Aku menghembuskan napas panjang lega. Entah kenapa hatiku terasa jauh lebih tentram mendengar ucapan Toma yang jelas-jelas menentang presepsi banyak orang. Sebab, jika Toma benar menyukai Bone aku langsung mundur seketika itu juga. Aku tahu posisiku, aku dan Toma seperti labgit dan bumi. Seperti apa yang orang-orang katakan, bidadari tidak seharusnya bersaing dengan si buruk rupa.

Namun, bisakah kupercaya sepenuhnya? Bagaimana jika Toma menyembunyikan perasaanya sama seperti aku menyembunyikan perasaanku. Bagaimana pun juga mereka tampak cocok. Klik seperti kunci yang tepat memutar lubang kunci hingga berbunyi. Seperti tutup dan botolnya, terlihat pas dan selaras.

**

Obrolanku dengan Toma terus-menerus meracau pikiranku. Sepulangnya dari restoran cepat saji itu, aku ingin menenangkan apa yang seharusnya tidak kupikir kan dengan bermain sosial media. Alih-alih membuka gim Pet Society, tanganku malah menggerakkan kearah yang lain. Aku mengetik nama Bone dalam lamanan pencarian sosial mediaku, membuka foto-foto yang kudapati adalah foto keluarganya.

Mungkin aku memasukinya terlalu dalam sehingga aku mendapatkan sebuah informan yang belum pernah kuketahui. Aku menghelakan napasku cukup dalam. Kini aku mulai tahu sedikit-sedikit tentang Bone. Ternyata Bone berasal dari golongan keluarga yang berada, terlihat jelas dari foto-foto yang diunggah oleh uminya, gaya hidup mereka jauh berbeda dari keluarga kalangan biasa.

Umroh bersama sekeluarga, jalan-jalan ke Universal di Hong Kong, merayakan libur tahun baru di Jepang dan liburan semesternya yang kemarin di Eropa. Abinya bekerja sebagai TNI AD, aku tidak tahu pangkatnya apa, tapi sepertinya sudah cukup tinggi. Sedang uminya seorang dokter spesialis saraf. Tertera dalam unggahan-unggahan tentang penyakit seputar permasalahan saraf.

Aku menghelakan napasku cukup panjang. Seharusnya aku tahu dari mobil Audi antar jemputnya saja sudah cukup mewah, berbeda denganku yang menaiki angkutan kota. Walaupun aku bukan terlahir dari keluarga miskin dan ke hidupan ke uangan keluarga kami masih cukup. Namun, dari sini aku cukup sadar, bahwa ada ribuan anak tangga yang memisahkan jarak diantara kita sehingga aku harus mendongak agar bisa terus melihatnya.

Ternyata tidak hanya dalam perkara otak dan ke populerannya, dari strata kita juga sudah berbeda. Aku yang diciptakan ternyata hanya bisa menjadi pengagum rahasianya saja, tidak peduli seberapa jauh aku mencoba mendekatinya. Ribuan anak tangga itu akan terus menaik dan kita tidak akan pernah sama.

Namun, aku anak yang penuh dilema. Tahu akan posisi, tapi masih saja ingin megejarnya. Begitu tahu saat kenaikan kelas aku tak sekelas dengan Bone. Aku belajar lebih giat lagi, sebab Bone memasuki kelas kelas 8-a atau kelas unggulan, sedangkan aku hanya memasuki kelas biasa kelas 8-b. Kembali lagi sekelas dengan Toma dan Jali, hasratku belajar menggebu-gebu, bahkan Toma yang duduk disampingku ikut merasakan peningkatan nilaiku yang sangat darastis. Tujuannya agar aku bisa memasuki kelas yang sama ketika kelas sembilan nanti, karena aku tahu nanti di kelas sembilan Bone pasti memasuki kelas unggulan lagi.

Aku terpacu hebat dengan yang namanya belajar, jika biasanya pulang Sekolah aku bermain sosial media dari komputerku. Sekarang aku mulai mengerjakan PR dan malamnya belajar untuk hari esok. Begitu pula jika ada ujian biasanya aku mengikuti sistem SKS, sekarang tidak. Dari hari pertma diumumkannya kapan ujian berlangsung, di hari itu pula aku belajar. Aku bahkan rela bangun pukul empat agar bisa lanjut belajar untuk sekadar mengasah ingatan.

Ritme belajarku benar-benar aku rubah selama kurang lebih dua bulan ini dan itu membuahkan hasil yang begitu manis untukku. Setiap pembagian hasil ujian nilaiku terus diatas delapan dan tak jarang pula aku mendapat nilai sempurna serta pujian dari guru, atas meningkat prestasiku. Fokus belajar bukan artinya aku melupakan tentang perasaanku. Seiring berjalannya waktu aku juga sering diam-diam merilirik Bone secara diam-diam kala upacara dimulai. Sengaja membantu guru membawakan bukunya agar bisa masuk kelas Bone tanpa sebuah pertanyan 'kenapa lo kesini?' Hal itu menjadi sebuah kegiatan yang cukup menyenangkan bagiku. Melihatnya dari kejauhan secara diam-diam, memang lebih baik menyatakannya secara gamblang lalu nantinya akan ditolak.

Sampai-sampai aku juga hafal mulai dari sepatu yang selalu di kenakan, plat mobil milik Bone dan selalu memandangi Bone, tiap kali Bone melakukan aktifitas di lapangan. Hingga aku sendiri selalu tersenyum-senyum malu kala melihat sosoknya atau hanya mendengar seseorang menyerukan namanya, dengan sebuah tindakan sederhana aneh itu bahkan jantungku bisa berdegub begitu hebatnya.

"Dek, temenin gue ke toilet, yuk."

"Lo yang izin, ya,"

Toma mengangkat tangannya meminta izin pada guru yang sedang mengajar. Begitu mendapat izin, kami beranjak keluar kelas. Sambil menghirup aroma di luar kelas yang santai dan sepi ini sebab masih jam belajar mengajar, kami bercanda-canda di koridor sambil mengobrol permasalahan ringan. Begitu sampai di kamar mandi lantai dua, ternyata cukup ramai membuat Toma memberengut.

"Ma, ke kamar mandi di lantai satu aja, biar gak ngantre."

Saat mengiyakan, kami turun melewati tangga tengah bukan tangga pojok dekat kamar mandi sekolah. Melewati TU dan kelas sembilan unggulan, setelah itu. Barulah kami melewati kelas yang membuat degub jantungku berpacu layaknya sedang berkuda, kelas 8-a. Aku melirik kelas tersebut yang tirai-tirai hordengnya terbuka sehingga aku bisa melihat isi dalamnya. Senyumku terkembang, bunga-bunga musim semi di hatiku bermekaran, kala melihat Bone yang sedang makan kudapan yang dibawanya secara diam-diam di kursi belakang tempat duduknya ketika guru sedang mengajar. Dengan sesekali Bone melirik guru yang sibuk menulis di papan tulis Bone menyuap dari kotak bekal yang disembunyikannya di dalam kolong meja. Aku terkekeh hingga malu yang tersipu-sipu.

Kita, Cerita, Pena.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang