21: KENYATAAN PAHIT

389 54 16
                                    

Aku memandangi sebuah bangunan reot yang tidak berbentuk di bilangan tanah abang. Sebuah panti asusahan tempat dimana aku ditemukan. Setelah empat bulan kejadian tersebut, ambu berangsur-angsur pulih dari kritisnya dan diijinkan oleh pihak rumah sakit untuk dirawat jalan di rumah. Hal itu memberikan perasaan lega bagi kami semua, rasa sesak dalam dada seakan sirna ketika sang dokter menyatakannya seperti itu.

Walau tidak bisa kembali berjalan dan harus menggunakan tongkat dan tangan kirinya yang sedikit bengkok, untungnya ambu masih bisa berbicara dengan jelas. Sehingga tidak membuat kami kesulitan jika mendapat suruhannya. Awalnya abah seolah lupa tentang percakapan kami malam lalu dan sangat tidak ingin membahasnya. Sampai akau kembali bertanya dan disinilah kami.

Abah mengetuk sebuah gerbang pintu kayu yang sudah lapuk termakan waktu. Sepanjang perjalanan menuju bangunan tersebut mataku tidak lepas dari sapuan penjuru halaman yang penuh dengan rumput liar dan tanah merah yang telah retak mengering. Sampailah kita didepan pintu seng yang abah tekan belnya.

Lalu tak lama keluar lah sesosok wanita paruh baya yang usianya kira-kira sudah menginjak akhir empat puluhan. Dengan kerutan dikeningnya seakan menyakan perihal kedatangan kami tanpa harus diucapkan. Abah mulai menjelaskan semuanya, tentang aku yang dulunya berasal dari kalangan mereka.

Senyum ibu panti itu terkembang, lalu mengizinkan kami masuk. Melewati bilik-bilik yang bersekat dengan triplek membentuk ruangan. Dari sana pula aku menangkap mata-mata kaingin tahuan yang bersembunyi dari anyaknya bilik-bilik tersebut. Hingga kami sampai pada sebuah ruangan administrasi yang tertutup sehingga tidak ada lagi yang mengintai kami. Abah dan aku bersampingan duduk dikursi kayu, sedang bu panti sibuk mencari berkas-berkas yang bertumpuk pada lemari buku yang begitu sesak untuk dilihatnya.

Sebuah binder biru tebal dikeluarkannya, lalu bu panti tersebut duduk didepan kami berdua meletakkan binder biru tersebut yang menuliskan tahun 1997. Artinya, tahun itu adalah tempat dan data anak-anak panti yang lahir pada tahun tersebut. Bu panti membalik-balikkan kertas demi kertas satu persatu. Sampai pada bu panti berhenti membalikkan kertas tersebut dan menemukan data diriku yang ikut memenihi buku binder tersebut.

Aku menahan napasku, kala membaca sebuah data diri yang dimiliki oleh panti asuhan tersebut. Sembari membuka sebuah map plastik yang terselip, aku mengeluarkan sepucuk surat yang ditulis tangan oleh ibu kandungku. Isinya tidak istimewa hanya memberitahukan asal mula mengapa aku bisa berakhir disini.

“Nama Ibumu itu Sukarti,” kata bu panti membuatku mengangkat kepala dan mentapnya dwngan nestapa. “Saya tidak begitu kenal pada sosoknya.”

Abah melirikku penuh khawatir sedang aku hanya bisa termangu menahan napas.

“Kami menemukanmu di kebun belakang yang sedang menangis sambil menyusu pada mayat yang telah lunglai tergorok.”

Aku terperanjat mendengarnya. Napasku seakan-akan berhenti tanpa diminta. Ibu kandungku sudah mati tergorok dengan kepala yang hampir putus. “Apa Ibu tahu nama Ayah saya?” tanyaku pelan.

Ibu panti tersebut menggeleng. “Tidak ada tanda-tanda yang kami ketahui tentang ayahmu, setahu kami Sukarti hanya seorang wanita yang kewarasannya terganggu yang sering berkeliaran di daerah pasar Tanah Abang yang diperkosa.”

Lagi napasku lagi-lagi terhenti. Aku ternyata anak yang lahir diluar pernikahan. Tanpa adanya ijab aku datang kedunia tanpa diminta. Aku keluar dari ibu dan bapak yang sama sakit jiwanya. Hal itu benar-benar menamparku hingga membuatku malu bahkan hanya untuk sekadar mengangkat kepala. Bagaimana bisa wanita gila diperkosa dengan laki-laki berakal?

Namanya Sukarti, seorang wanita yang sudah beranjak dewasa dengan warasan yang dipertanyakan. Sukarti cukup dikenali oleh warga Pasar Tanah Abang. Dulu pada tahun 90-an, entah datang dari mana asalnya sehingga Sukarti lebih sering menetap di pasar tersebut. Sukarti tidak memiliki rumah, dia pun tertidur di emperan took-toko saja, untuk makan dia hanya mengais kebaikan dari orang-orang yang waras saja atau mengorek tempat sampah untuk mencari peruntungan.

Pada tahun 1997, ketika orde baru ingin digulingkan manusia menjadi jauh lebih bringas. Rasa-rasanya peri kemanusiaan tidak lagi tertanam pada masyarakan kala itu. Indonesia membabi buta, menuntut keadilan dengan cara diluar nalar. Oleh sebab itu banyak orang jahat yang memanfaatkan momen tersebut. Setelah banyak toko-toko yang tutup, pasar terlalu sepi. Masyarakat waras takut keluar dan hanya pergi mencari rezeki. Pada saat itu lah Sukarti diperkosa.

Selasa pagi yang terik, ketika hanya beberapa toko saja yang buka, Sukarti berjongkok depan toko bubur ayam sambil mengepalkan tangannya mengejan berkali-kali. Awalnya banyak yang mengabaikan sikap Sukarti, karena tabiatnya yang sedang seperti buang air besar sembarangan. Sampai bu Inah si pemilik toko meliriknya dan menangkap darah segar yang menetes tepat di bawah Sukarti.

“Eh… eh Sukarti melahirkan,” seru bu Inah pada pelanggan tetapnya yang juga beberapa kenal pada Sukarti.

Cepat massa langsung berkerumun ada yang membawa kain basah, minuman bahkan peayan bu Inah membawa bantal yang entah dari mana. Namun, keramaian yang dibuat membentuk rasa yang tidak nyaman untuk Sukarti, sehingga dia teriak-teriak sambil menahan sakitnya, memekik layaknya teko uap yang airnya telah mendidih.

Orang-orang yang mendekat ingin menolongnya melahirkan dicakari hingga akhirnya mundur sendiri. Dari sana lah aku dilahirkan, tanpa pertolongan siapa pun dan menjadi tontonan massa. Ketika ingin dipindahkan ketempat yang jauh lebih nyaman Sukarti kembali mengamuk, mengusir orang-orang yang ingin menyentuhnya dan juga bayinya yang masih berlumur darah. Sampai seseorang membawaku untuk dibersihkan, Sukarti semakin menggila. Matanya melebar dengan kilatan yang mengerikan, sambil berteriak-teriak dengan ludah yang memuncrat-muncrat.

Dengan penuh iba, bu Inah menukarku pelan-pelan dengan bubur ayam dan segelas teh, yang akhirnya pertukaran itu terjadi. Masih dalam tangkapan matanya yang menelisik, bu Inah yang sedang membersihkanku dan menggulungnya dengan sebuah kain batik. Lalu memberikannya lagi pada Sukarti ketika Sukarti bangkit dengan tergopoh dan berjalan mendekati bu Indah mengangguk seraya mengucapkan terimakasih. Setelah menggedongku dengan perut terisi Sukarti pergi sembari tertawa-tawa, membuat wanita-wanita resah denganku. Apakah Sukarti mampu menyusuiku? Apa Sukarti tahu caranya menyusui?

Sedikit terbesit pada hati bu Inah yang ingin mengambilku pada Sukarti, merebutnya untuk dikasihi jauh lebih dalam lagi. Namun, ketika malam menjelang, ketika bu Inah siap mengambilku secara diam-diam, ketika Sukarti telah tertidur diemperan tokonya. Sukarti mengigau.

“Anakku… anakku yang cantik, tumbuh sama ibu, ya.”

Mata bu Inah langsung membelalak, sergapan rasa bersalah menyerangi hatinya. Sukarti ternyata mengerti tentang hubungan anak dan ibu yang akhirnya bu Inah membiarkannya. Cerita Sukarti dari hari ke hari makani ramai hingga terdengar pada panti asuhan yang sudah berdiri dekat pasar. Sampai ibu-ibu panti mengasihinya dan memberikan kemurahan hatinya dengan makanan-makanan yang selalu dihidangkan pada Sukarti yang kerap duduk dipinggir jalan.

Jika malam menjelang, Sukarti dan aku diijinkan tidur dalam panti. Bu Inah dan ibu panti pun kerap mengajari Sukarti tentang cara menggantikan popok. Jika sedang sadar dia akan mengurusku sebaik ibu yang waras, tapi jika sedengnya kumat dia senantiasa menggendongku layaknya karung beras hingga ibu-ibu yang melihatnya ngeri sendiri. Malah kadang aku dikempit diantara lengan dan ketiaknya sambil Sukarti berlari-lari dan tertawa.

Kita, Cerita, Pena.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang